Di berbagai penjuru dunia Hari ini dipenuhi dengan ucapan selamat Hari Kasih Sayang yang lebih familiar disebut Valentine Day. Ini memang bukan soal sekelompok orang haus kasih sayang berlabel jablay. Atau perihal trend kekinian agar terlihat lebih nge bule. Ini soal pesan kasih sayang dari kejadian negeri seberang, yang kebetulan saja agamanya berbeda dengan agama mayoritas di Indonesia.
Kejadian yang menimpa Valentine yang kemudian diperingati setiap 14 Februari memang tak harus dilihat dalam satu perspektif saja. Dalam perspektif agama Islam misalnya. Tak sedikit yang akan mengatakan, ini bukan budaya kita, ini bi’dah, ini haram, ini berpotensi menjadi arena kebebasan seksual, dan sebagainya.
Dalam pendekatan agama, teks diatas tepat kiranya. Namun ada kenyataan sosial yang harus kita terima.
Pada kelompok masyarakat yang merayakannya untuk tematik Valentine Day ini, pada pola-pola pertumbuhan maupun kemundurannya yang tidak berubah yang dilalui sistem budaya, tema kasih sayang seolah menjadi budaya dasar secara universal. Budaya dasar ini selalu berulang, kadangkala pengulangannya menunjukkan pola berubah. Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali terulang. Kondisi kemajuan setiap jamannya lah yang kemudian membuat pola berubah namun substansi selalu sama.
Dalam beberapa literatur, Valentine Day ini diperingati sebagai bentuk penghargaan kelompok masyarakat tertentu terhadap pengorbanan Valentine. Dengan tindakan heroiknya yang secara tidak langsung sangat kontra yakni melawan perintah dari Kaisar Romawi Cladius II. Perintahnya memang cukup unik, para tentara mudanya dia larang menikah, oleh karna kekuatirannya mempengaruhi kualitas para prajuritnya jika kelak dia bertempur di medan perang. Aksi diam-diamnya Valentine yang menikahkan setiap pasangan kekasih akhirnya berujung hukuman mati tepat di 14 Februari 270 M.
Dalam perjalanannya, cara memperingati Valentine Day ini selalu berubah pola. Substansi sama namun dia tetap bermakna ungkapan kasih sayang.
Milsalkan saja, abad ke 18 orang merayakan dengan bertukar surat cinta. Jauh sebelumnya ini didahului dengan tradisi memberikan coklat pada orang yang dikasihi atau seseorang yang istimewa di hati.
Di era millenial sekarang ini, dibeberapa kasus, justru 14 Februari ini acapkali berbau hari kebebasan seksual berlabel ungkapan kasih sayang pada dua sejoli berbeda jenis. Kelirunya pemaknaan dari substansi peristiwa yang pada akhirnya membawa peringatan hari ini menjadi identik dengan kerusakan moralitas sebagian anak bangsa.
Apa yang salah dengan Valentine Day? Peristiwa heroik ini tidak boleh kita lihat dalam satu frame saja. Dalam kehidupan kita sekarang ini, apakah kita masih bisa mendapati orang yang berani mempertaruhkan nyawanya seperti Valentine?
Boro-boro mau melawan penguasa dengan menikahkan diam-diam para pasangan kekasih yang dilarang menikah, update status di medsos saja buat melawan pemerintah harus mikir 3 kali. Padahal paling efek status kritik itu hanya bisa berujung pemanggilan di Polsek saja lho, bukan tiang gantungan.
Meskipun situasional, namun peringatan hari kasih sayang ini adalah keterlanjuran sejarah yang tak bisa kita tolak. Memperbaiki mindset kita terhadap substansi peristiwa awal peringatan ini adalah hal yang utama.
Pesan kasih sayang ini adalah bersifat universal. Ini tentang kesatuan humanitas lintas etnis yang asasi dengan menekankan persaudaraan dan kasih sayang. Pesan kasih sayang ini berusaha membangkitkan kembali semacam cinta yang akhirnya merangkum seluruh humanitas. Pesan kasih sayang ini memang mengalami kekaburan abstraksi ditengah kemajuan jaman.
Valentine Day ini memang dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah ideologi budaya, dia memberikan ilusi-ilusi untuk mengimbangi ketimpangan-ketimpangan dan kekurangan-kekurangan dalam kondisi hidup kita yang materialistik. Namun mari kita abaikan sejenak pendapat tersebut. Pesan tersirat di peristiwa masa lalu di 14 Februari ini setidaknya bisa mempererat ikatan sosial kita, mempersatukan individu dengan kelompok-kelompok sosial atau dengan masyarakat umum dan dapat membuat hidup ini menjadi lebih berarti secara sosial dalam berbagai kelas.
Bukankah Tuhan menurunkan Kasih sayang kemuka bumi ini tidak berlabel bagi ras dan agama tertentu. Kita jangan egois menafsirkan hikmah peristiwa dengan membenturkannya pada konteks agama dan kepercayaan. Dia adalah anugerah Tuhan pada setiap insan yang kadang tersiratkan dalam sebuah peristiwa tertentu, dan mungkin saja lewat pengorbanan sang Valentine.
Artikel ini telah dimuat lebih awal di