Konon salah seorang kepala bagian sebuah toko besar di New York pernah berkata kepada sahabatnya, bahwa dia lebih baik menerima seorang marketing yang bisa tersenyum dengan pendidikan biasa saja daripada seorang Marketing dengan gelar sarjana namun mukanya sulit untuk menyunggin senyuman.
Ini menandakan betapa penting sebuah senyuman sebagai sebuah prolog awal dari komunikasi lebih lanjut yang humanis (memanusiakan).
Kita mungkin akrab dengan berbagai berita perihal pelayanan yang kurang bersahabat di beberapa instansi pemerintah. Kejadian ini biasanya terjadi pada saat jam-jam sibuk, dimana orang cenderung sensitif terhadap feedback yang kurang nyaman.
Beberapa hari lalu kawan saya bercerita bagaimana dia terpaksa melapor ke Sekda dan mengumpulkan adik-adiknya untuk mendemo instansi tersebut.
Persoalannya cukup sepele. Setelah antri berjam-jam, saat giliran nomornya dipanggil tiba-tiba terpending dengan kalimat judes dari seorang staf “anda dengar tadi khan, pelayanan istirahat, mohon dimengerti!”.
Alasan telah masuk waktu shalat sesungguhnya tak jadi soal, itu lumrah. Namun apa sesungguhnya yang terjadi sehingga hal ini berubah menjadi sebuah ketegangan dan berakhir seperti benang kusut. Uniknya lagi, kawan saya ini seorang Dosen Psikologi yang kerap terlibat pada test-test kepribadian dan kejiawaan dibanyak momentum.
Semestinya dia lebih paham untuk self control. Namun sepertinya pengalaman tersebut sulit berlaku, sebab dia sedang berada pada posisi seorang anak yang tengah mengantar sang bapak untuk berobat karena sakit jantung yang lumayan parah.
Standar pelayanan para ASN kita diberbagai instansi memang tak sedikit sudah sesuai dengan SOP nya. Dari A-Z semua berupaya diikuti. Namun lagi-lagi selalu terjadi error di dalamnya. Missed antara pelayan dan yang melayani masih menjadi langganan berbagai instansi, dan Rumah sakit menjadi salah satu penyumbang terbesar didalamnya.
Padahal berbagai pelatihan, seminar dan workshop telah diikuti, namun diberbagai daerah hal ini selalu berulang, berulang dan berulang. Pergantian pimpinan tertinggi maupun menegah di dalam sebuah instansi, rolling disetiap bagian agar ada suasana baru, biasanya hanya bertahan beberapa saat saja.
Beberapa minggu atau bulan kemudian semua kembali ke karakter semula. Puncaknya, kadang-kadang dimeja pelayanan ataupun didalam ruangan kerap nyaris menjadi arena UFC, minimal perang urat leher dan atau tak didapatinya senyum manis dikedua pihak.
Apesnya lagi kadang hal tersebut tak sempat terselesaikan berupa saling memaafkan saat pasien/ keluarga pasien telah selesai urusannya di rumah sakit tersebut. Lambat laun ini akan menjadi kebiasaan yang tak disadari akan menjelma menjadi ‘budaya’ yang tak elok.
Motif Sosiogenis dalam pendekatan W.I Thomas dan Florian Znaniecki antara lain : Keinginan mendapat respon, keinginan pengakuan dan keinginan Rasa aman menjadi variabel paling dominan yang tidak teraplikatif dan akhirnya komunikasi
Humanis susah diwujudkan pada pelayanan kesehatan. Dan yang perlu dicatat bahwa komunikasi yang humanis bukan bawaan lahir atau karena keturunan. Dia timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar dan berhikmah dalam setiap peristiwa.
Terkhusus dalam memilih diksi yang tepat untuk berkomunikasi, ini murni dari hasil proses belajar baik secara formal maupun non formal.
Saya punya pengalaman berkesan perihal efek dari pentingnya pemilihan diksi yang tepat. Selepas Isya diawal Mei 2018. Notifikasi email saya berbunyi. Surat elektronik dari USA dengan puluhan lampiran petunjuk berbahasa Inggris.
Sebuah perusahaan konsultan Brand dan publick figur kenamaan yang menyampaikan kelanjutan kerjasama riset kami beberapa tahun sebelumnya di 4 kota besar di Indonesia. Semua kebutuhan data dan analisa tak satupun dia komplain.
Saya masih ingat diujung pintu. Saat saya menemuinya dia mengangkat dua jempolnya dan berkata “Amazing, This is A Great! Ada kesan tersendiri dipuji dengan dua jempol oleh miss J.R, dia sekarang menjadi managing Director pada Perusahaan Konsultan Brand.
Dia adalah sosok yang menjadi salah satu otak utama desain brand Joe Biden- Kamala Harris hingga memenangkan Pilpres USA mengalahkan petahana Donald Trump. Perusahaan tersebut sekarang ini masih menjadi pilihan brand-brand kenamaan diantaranya UBER, MCD, AON yang tetap memilih untuk menjadi klien mereka.
Kemampuan berbahasa yang humanis tidak saja membuat person tersebut bisa berinteraksi dengan baik, namun dia akan menjadi person yang selalu dinantikan oleh orang-orang disekitarnya. Tentu karena kenyamanan mereka saat berkomunikasi bisa didapatkan.
Dan yang tak kalah penting, bahwa person sanggup berkomunikasi yang Humanis, akan menjadi aset terbaik dari sebuah instansi ataupun lembaga oleh karena kemampuan mereka menyimpan kesan yang baik sehingga instansi tersebut akan mendapatkan respon positif publik yang diungkap mungkin di medsos mereka.
Sebagai penutup dari tulisan yang sederhana ini, saya ingat sebuah kalimat sederhana dari seorang kawan saya, guru SMP di sebuah kampung terpencil yang sukses menaklukkan kenakalan para siswanya dan menjadi lebih bersahabat karena kemampuannya memilih diksi dan hikmah. Bahwa berbahasalah dengan bahasa Hati, sebab lawan bicaramu akan membalasnya dengan Hati pula.
Jangan menggunakan bahasa yang nunpang lewat dibibir saja. Sebab mereka juga akan membalasmu dengan bahasa ala kadarnya tanpa ada kesan kesan yang tertinggal. Bukanlah kesan awal yang bagus akan menjadi obat yang ampuh bagi psikis mereka sebelum mereka berobat lebih lanjut di bangsal perawatan.
Mari Budayakan Komunikasi Yang Humanis!
Artikel ini juga telah tayang di Portal Makassar sebelum website ditutup, dan diterbitkan kembali di :
https://jurnalmakassar.pikiran-rakyat.com/trending/pr-826528072/urgensi-merawat-komunikasi-yang-humanis-pada-pelayanan-kesehatan?page=2