Salah satu efek domino dari Kasus penganiayaan David beberapa waktu lalu, berupa maraknya pengketatan Laporan Harta Kekayaan penyelengara negara, hingga isyu Rp. 300 T oleh sekelompok orang yang melakukan pencucian uang di lingkup kemenkeu.
Lalu muncul pula pemberitaan beberapa waktu lalu tentang pejabat di Sulsel yang terkaya dan termiskin, indikatornya berdasarkan LHKPN mereka masing-masing. Yang menarik juga tentang mantan Bupati di salah satu Kabupaten di Sulsel yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya itu tidak memiliki mobil dan motor dalam laporan harta kekayaannya.
Laporan Harta Kekayaan ini memang kadang multi tafsir dalam masyarakat kita. Mulai dari pendapat bahwa dengan kekayaan Miliaran rupiah dan jabatan tinggi kok masih ada juga bisa dikategorisasikan ada yang miskin dan ada yang kaya, bukankah mereka sudah berkecukupan dengan fasilitas jabatan yang mereka nikmati selama ini.
Di lain sisi ada juga yang menganggap ini sebuah niatan baik para pejabat ini untuk jujur pada KPK dan pada khalayak soal berapa jumlah harta mereka. Bahkan ada juga menganggap ini semacam permainan laporan keuangan saja, biarkan mereka melapor berapa jumlah hartanya, dan biarkan mereka yang baku atur dengan Tuhan mereka di akhirat soal jujur tidaknya.
Namun terlepas dari multi tafsir ini, kita perlu apresiasi tentang niatan positif para pejabat kita untuk melaporkan secara berkala harta kekayaan mereka. Kita tentu berharap semangat kejujuran dan transparansi dari pelaporan tersebut, sehingga masyarakat kita tetap optimis bahwa masih banyak stok pemimpin jujur dan amanah di negara ini.
Walaupun tampilan tak sedikit dari mereka didominasi jauh dari kata sederhana, namun setidaknya para pejabat tersebut masih berani menunjukkan semangat kejujuran dan transparansi dalam mengelola dan digaji dari uang rakyat.
Gaya Hedonis Anak Pejabat
Gaya hidup sebagai bentukan politik dan ekonomi yang seringkali mensubordinasikan kelompok tertentu. Di sisi lain, Interaksi kelas sosial level atas dimana kekuasaan dan jabatan dengan kemapanan ekonomi diatas rata-rata, ini justru kerap membuat dalam lingkungan keluarga mereka khususnya anak-anaknya berpotensi besar terjebak dalam gaya hidup hedonisme.
Gaya hidup ini yang pada akhirnya bisa mengurangi daya kerja logika serta sensitifitas sosial mereka untuk bisa berinteraksi secara normal dengan berbagai lapisan sosial disekitarnya.
Selain itu pula, proses peresapan kembali nilai-nilai keagamaan dalam aktivitas keseharian menjadi semakin lemah, hal ini diakibatkan oleh karena tingkat kemapanan ekonominya yang justru mendekatkannya pada aktivitas-aktivitas yang jauh dari nilai-nilai religius.
Kasus kekerasan yang dilakukan anak pejabat ditjen pajak beberapa waktu lalu memberikan gambaran bahwa MD dengan kemampuan finansial yang lebih dari cukup dengan mudahnya terpengaruh oleh hal yang mestinya dia konfirmasi di dua sisi perihal kebenaran informasi dari wanita si A ini.
Daya analisis dan logikanya mandek khususnya pada prediksi efek jangka panjang dari tindakan fisik secara ekstrim yang dilakukannya kepada korban D.
Yang tidak bisa dihindari juga berupa munculnya efek domino berupa pemeriksaan laporan kekayaan para pejabat menjadi lebih ketat, juga efek sosial lain berupa pembullian khususnya para remaja berorang tua tajir.
Kita berharap para remaja kita dapat mengambil banyak pelajaran dari peristiwa semacam ini.
Pendapat ini juga telah dimuat lebih awal di media RRI :
https://www.rri.co.id/opini/190131/sosiolog-minta-pegawai-lebih-transparan-lapor-lhkpn