Di tahun 1994, terbentuk sebuah konsorsium perusahaan teknologi yang berisi raksasa-raksasa perusahaan IT dunia. Adalah Intel, Microsoft, Apple, Intel, Compaq, IBM, NEC dan DEC (Digital Equipment Corporation)
Konektivitas perangkat komputer kala itu menggunakan berbagai jenis port, mulai dari serial, paralel, dan lainnya, yang menghadirkan kompleksitas serta tidak seragamnya dalam urusan colok mencolok untuk mentransfer data, audio maupun video.
Kini, teknologi USB telah menjadi standar yang berlaku universal hampir di semua perangkat elektronik, mulai dari komputer hingga smartphone.
Konsorsium ini menjadi salah satu contoh pola kolaborasi dalam dunia industri yang sukses luarbiasa dalam menciptakan jalan keluar bagi hambatan dalam teknologi global.
Mereka terbentuk tidak dengan biaya investasi kecil diangka miliaran rupiah, Apatahlagi hanya di kisaran angka 80 Miliar. Sebuah angka kecil yang diharapkan agar terbagi merata dalam setiap detail pengembangan, namun besar kemungkinan angka ini akan mempermudah investasi ini berujung pada sebuah kegagalan.
Karena perusahaan dalam konsorsium ini sadar bahwa mereka sedang mengantarkan umat manusia diterbitnya fajar sains dan teknologi yang akan menerangi dunia, bukan sedang mengantarkan serangan fajar pada umat.
Investasi para perusahaan ini diprioritaskan untuk pengembangan IT disertai niat dan tujuan untuk mendapatkan jalan keluar, bukan jalan agar yang berinvestasi tergeser keluar dari jalur kemenangan.
Konsorsium ‘Abunawas’
Ada sedikit kesamaan antara konsorsium IT dan konsorsium politik pada ulasan berikut. Dimana bukanlah hal mudah membentuk sebuah konsorsium politik dalam rangka memenangkan sebuah momentum politik saat pemungutan suara.
Kita mungkin masih ingat, beberapa konsorsium politik dalam sejarah dunia yang pernah terbentuk dalam rangka pemilihan. Ada Grand Alliance di Amerika Serikat, juga ada barisan Nasional di Malaysia.
“Manajemen koalisi yang efektif dari nama-nama konsorsium politik ini, dimana pengelolaan internal mereka cukup solid dalam rangka menghindari konflik antar anggota yang terhimpun.”
Anshar Aminullah
Ada pula United Progressive Alliance di negeri Hindustan, India. Juga ada The Democratic Alliance di Afrika Selatan. Serta tak ketinggalan pula Koalisi Indonesia Bersatu dan Koalisi Indonesia Merdeka dari Indonesia.
Konsorsium politik ini cukup berhasil oleh karena pertama, komitmen pada agenda bersama yang kuat. Mereka juga memiliki visi serta misi yang mampu menyatukan berbagai kepentingan.
Kedua, manajemen koalisi yang efektif, dimana pengelolaan internal mereka cukup solid dalam rangka menghindari konflik antar anggota yang terhimpun.
Dan yang ketiga, yang tidak kalah penting adalah kekuatan finansial yang mendukung, serta ketersediaan logistik sedikit diatas cukup.
Keberhasilan mereka akan selalu dicatat baik oleh sejarah. Mereka mampu saling mensolidkan dari awal hingga akhir proses. Mungkin dikarenakan konsorsium ini lebih banyak mengeluarkan finansial dan logistik dari saku mereka sendiri.
Dan bisa jadi karena mereka adalah konsorsium politik, bukan konsorsium para oknum konsultan politik yang punya otak seperti abunawas, dimana dana kandidat dipreteli habis lalu setelah itu menghilang dari peredaran seiring dengan rasa kecewa dan luka mendalam oleh kandidat yang dikadalinya.
Dan bisa jadi karena mereka adalah oknum konsultan politik yang selalu memiliki trik jitu dalam menjawab setiap persoalan di lapangan saat pemilihan.
Namun mereka lupa, bahwa trik jitu itu tak akan mampu menjawab pertanyaan balik Tuhan, ketika kandidat yang didzalimi, karena kepercayaannya dikhinati pada sebuah harga mahal yang telah dia bayar, itu lantas mengadu dan meminta keadilan pada TuhanNya kelak di Yaumil Akhir. Wallahu A’lam.