Menagih Janji di Bukit Hambalang
Mengambil Hikmah (Bukan Catatan Si Boy)
Wajah Pemuas di Balik Filter, Enak di Layar, Eneg Saat Dibayar
Baso Anak Metal, Evolusi Rock ala Makassar
Mengapa Acapkali kita Tidak Takut Corona?
Sisi Lain Kasus Perceraian di Gowa 764 janda
Prof Jamaluddin Jompa, Pesan Langit Untuk Anak Bangsa Kelas Bawah
Mahasiswa semester 3 itu akhirnya berhasil meyakinkan Prof Basri Hasanuddin, sang Rektor kala itu, agar membantunya lewat rekomendasi untuk beasiswa Yayasan Latimojong. Andai saja beasiswa itu tak didapatkannya, mungkin dia akan kembali kekampung untuk bertani sebagai pilihan terakhir oleh karna ketaksanggupan sang ayah yang hanya seorang pensiunan TNI membiayai 9 orang didalam keluarganya.
Demikian sebuah ungkapan tulisan di WAG tepat beberapa jam setelah sang anak tak kenal menyerah itu ditetapkan sebagai Rektor terpilih Universitas Hasanuddin suksesor Prof Dwia yang akan segera menyelesaikan masa baktinya di periodenya yang kedua.
Jamaluddin Jompa. Sosok yang ternarasikan dalam Wikipedia, sebuah sejarah singkat perjuangan hidupnya menggarap sawah sepulang dia bersekolah. Tak mudah memang menggantungkan cita-cita yang tinggi dengan hanya bermodalkan gaji pensiunan TNI.
Hanya orang-orang tak kenal menyerah lah atau bahkan terkategorisasi nekad yang punya harapan setinggi langit buat mengenyam pendidikan hingga level di perguruan tinggi.
Kita mungki bisa bersepakat, bahwa kita tak bisa memulai impian dengan sebuah keraguan total. Kita harus memulai dengan prasangka baik pada Allah. Menanamkan spirit tersebut diatas memang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Pilihan model tindakan yang hanya punya tekanan kecil dapat dipastikan sebagai sebuah pilihan kurang tepat dan tak akan cukup untuk mengantar seseorang sampai dilevelan jabatan bernama Rektor.
Butuh kajian panjang lebar untuk menjelaskan secara detail, bagaimana seorang anak kampung, yang untuk fokus bersekolah di satu tempat saja sulit, oleh karna mesti harus mengikuti sang ayah dimanapun dia bertugas. Bukankah bersosialisasi dengan kultur yang sedikit berbeda ditiap daerah butuh waktu?
Namun pengecualian mungkin berlaku bagi seorang anak bernama Jamaluddin Jompa (JJ) itu. Justru hal demikianlah yang besar kemungkinan membuatnya menjadi lebih kaya dengan pelajaran kultur antar etnik dari khasanah budaya kita.
Orientasi yang gamblang menuju sebuah capaian akhir pada puncak karier struktural dalam sebuah perguruan tinggi semacam ini, memang tak umum dilakukan oleh anak bangsa kelas menengah. Apatahlagi dia berada dilevel kelas bawah.
Namun apa yang dilakukan dan akhirnya dicapai oleh seorang Prof JJ telah menegaskan, bahwa persepsi kita sendiri ini dibentuk oleh kapasitas personal kita yang ditempa oleh keadaan sulit. Kepekaaan kita merespon setiap level kesusahan, akan mengarahkan kita pada satu garis tindakan yang jelas menuju satu tujuan yang tunggal, yang dinamai Keberhasilan.
Nama JJ akan selalu menjadi kebanggaan anak bangsa kelas bawah yang tak pernah berani bercita-cita tinggi dalam dunia akademik. JJ akan menjadi simbol dalam banyak makna “Jangan Jumawa, Jempolan dan Jenius, atau mungkin Jawaranya orang Jelata. Yang jelas, bahwa sosok Prof JJ adalah figur yang telah berhasil mengembangkan konsep kepandaian kreatif, sanggup mengaitkan ide-idenya sebagai sebuah ilmuwan dan cendikiawan.
Prof JJ telah menjadi figur sentral dan strategis milik almamater dan ummat.
Dan Prof JJ adalah pesan tegas Tuhan dari Langit untuk anak bangsa kelas bawah “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”.
Ironi Satria yang Tak lagi Sanggup Mencetak Para Satria Intelektual Kembali
Saya dikagetkan oleh sebuah iklan disalah satu website penyedia lapak jual beli bernama Online Exchange yang familiar kita sebut OLX. Sebuah Group pasar daring global yang berkantor pusat tepatnya di Amsterdam, Belanda. Pemiliknya berasal dari kelompok media dan teknologi di Afrika Selatan tepatnya di Naspers.
Entah benar apa tidak keabsahan pengapload iklan ini. Namun dalam pemantauan penulis, tercatat telah dua kali teks deskripsi dan foto objek iklan mengalami perubahan di situs tersebut. Dan penulis sampai dikesimpulan awal, bahwa iklan tersebut serius adanya.
Belum pernah iklan seperti ini saya dapat, ini jujur. Saya merasa aneh dan seperti terlempar dalam sebuah dimensi lain. Naluri akademisi saya terusik, serasa sesak, sekejap blank saat melihat iklan “dijual bangunan plus yayasan pendidikan……” dan dibawahnya tertera nominalnya dalam jumlah puluhan Miliar.
Kampus di ujung pertemuan jalan Veteran Selatan dan Jalan Andi Djenma Makassar ini, adalah salah satu kampus swasta Favorit di Makassar era 80-90an bahkan hingga awal 2000an. Bangunannya harus berakhir di website eks Tokobagus.com ini.
Tak elok rasanya jika ditulisan ini membahas persoalan dapur mereka di pengelolaan Yayasan maupun Universitasnya. Sebab saya percaya, tak sedikit diantara pembaca tulisan ini paham betul cerita dibalik berakhirnya salah satu kampus kebanggaan kita di Makassar.
Universitas beserta Yayasan ini mungkin saja mengalami stagnasi pada progresivitas hasil-hasil konseptual, inovasi kelembagaan dan pengembangan sains. Ini dugaan awal sekaligus upaya tetap berhusnuzan. Sebab konseptual, inovasi kelembagaan, dan pengembangan sains selalu berbanding lurus dengan minat mahasiswa untuk kuliah didalamnya.
Mahasiswa banyak, otomatis pemasukan ke yayasan akan banyak pula. Berbicara tentang pengembangan sains, memang harus diakui bahwa tidak sedikit universitas publikasi jurnal mereka baru giat dibeberapa tahun terakhir, setidaknya ini menjadi pertanda baik buat Sains kedepan.
Hal lain berupa inovasi kelembagaan dalam hal ini pembenahan internal dengan melakukan reakreditasi fakultas dan Universitas tentu tetap menjadi prioritas. Pertanyaannya apakah ini cukup untuk menasbihkan eksistensi sebuah Universitas dalam jangka panjang?
Gampang-gampang susah menjawabnya. Hal ini dikarenakan acapkali sulitnya berbanding lurus antara orientasi pengembangan Iptek, SDM dalam Universitas dengan orientasi keuntungan ekonomi dalam Yayasan. Konon sering didapati beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab justru menjadi makelar nilai, makelar Skripsi dan Tesis dengan mengedepankan aspek pragmatisnya dibanding proses akademiknya. Ini rahasia umum yang pada penulis juga kadangkala mendapati fakta ini.
Dan menjadi bencana berkelanjutan, saat pengelola dalam hal ini yayasan terkesan cuek atau bahkan mengaminkan hal tersebut. Jika hal ini tumbuh menjadi sebuah kebiasaan yang menular, maka ini menjadi alamat pertanda kejatuhan sebuah lembaga pendidikan setingkat Universitas.
Kebutuhan finansial itu penting, namun dia tidak boleh berdiri angkuh mengangkangi proses formal akademik. Tak boleh ada ‘pelacuran’ pada ruang proses akademik. Ini menyangkut generasi bangsa.
Para penghisap darah tubuh Universitas ini tak boleh dibiarkan menggerogoti setiap urat nadi proses intelektual formil. Dia jangan sampai tumbuh subur, terlihat seperti tanaman hias, tapi sesungguhnya adalah semak belukar dan ilalang tak berguna dipekarangan bangunan bernama ruang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Fenomena diatas memang mungkin tak terjadi di Yayasan dan Universitas di iklan OLX diatas. Namun ini menjadi peringatan keras bagi Yayasan-yayasan pada perguruan tinggi swasta lainnya. Penulis yakin, jika profesionalisme pengelolaan Universitas berjalan sesuai treknya, sekeras apapun ujian dan dinamika internal Yayasan,
Internal Universitas, atau Yayasan dengan Universitas akan bisa dilalui dengan baik. Konflik itu baik buat pengembangan kearah yang lebih progres. Olehnya itu, top leader perlu paham dan tak mesti khatam cara memanagemeni sebuah konflik.
Sebagai catatan tambahan, pada iklan OLX ini ada dua hal penting yang bisa kita petik :
Pertama, pada pengelolaan kampus dalam dunia pendidikan, Kadang kita butuh sikap sebagai seorang satria agar tak hilang seperti Satria diiklan ini.
Kedua, Kadangkala Di OLX lah kita bisa menjual yang lama dengan cepat, agar bisa mengganti dengan yang baru secara cepat. Dan adakala sesuatu yang berakhir di OLX mungkin adalah sesuatu yang dijual cepat akibat keinginan pada yang baru dengan mengganti yang lama dengan cara yang cepat pula.
Wallahu A’lam.
Pakintaki, Latah Sosial di era digital?
Beberapa minggu ini jagad maya dihibur oleh sebuah video pria remaja asal Jeneponto dengan idiom terkenalnya “Pakingtaki”. Video ini terlihat biasa saja dalam hal pengambilan gambarnya, resolusi videonya tak begitu tajam, pengaturan auto fokus dan perhitungan pencahayaan jauh dari kata profesional, wajah objeknya pun jauh dari kata fotogenik. Meski pada prinsipnya dijaman sekarang cakep itu relatif, tergantung setting auto beauty aplikasi kamera 360.
Aldi Pakintaki tidak seperti remaja di kelas ekonomi lainnya, ataukah kelompok-kelompok status yang berlandaskan pada ikatan subyektif antara para anggotanya yang terikat menjadi satu oleh karna gaya hidup yang sama, serta berjuang untuk mempertahankan perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran sosialnya. Dia adalah anak muda yang mewakili kelas sosial terbawah yang kreativitas dan keunikannya kadang membutuhkan yang namanya faktor keberuntungan agar bisa mengantarkannya pada kesuksesan dengan masa berlaku sejenak.
Aldi Pakintaki dalam pengamatan kita secara langsung, baik dari video yang dia buat sendiri maupun dari wawancara sebuah podcast salah seorang selebgram Makassar, akan terlihat, bahwa apa yang dilakukannya cenderung menegaskan bagaimana dia berada dalam sebuah kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan. Diumur yang masih anak-anak sudah tak dirawat oleh kedua orang tuanya. sang ibu ke Kalimantan dan sang ayah tak dia ketahui kemana rimbanya.
Tanpa bimbingan kedua orang tuanya secara langsung yang kemudian berimplikasi pada perkembangan mentalitasnya. Cara pemilihan diksinya yang cenderung monoton, membuatnya kadang menjadi bingung sendiri dengan apa yang hendak dia utarakan. Meski pada akhirnya justru itulah yang membuat para nitizen merasa terhibur.
Dia dendam dan masih sakit hati jika harus bertemu dengan kedua orang tuanya. Pendidikannya menjadi tak terurus, dia putus sekolah sejak SD. Rumah yang dia tempati memang sangat memprihatinkan oleh karna kondisi ekonominya yang memang jauh dari kata berkecukupan.
Dia pada akhirnya harus menumpang dirumah tetangganya yang berbaik hati padanya. Masih ada segudang kisah pilu dalam kehidupan remaja hitam manis ini yang mungkin belum dia ungkap, kisah yang mungkin akan menguras emosional banyak orang yang mendengarnya.