Catatan Pelantikan PP Sulsel: Menegaskan Abadi, Mengantar Menuju Keabadian
Menghormati Alumni Dan Upaya Merawat Masa Depan Bangsa lewat Kampus
Beberapa hari ini saya menuntaskan beberapa film yang bertemakan pemilihan Presiden USA. Cukup menegangkan, mengedukasi dan menghibur melihat geliat para konsultan politik dan para tim dua kubu dalam upaya memenangkan calon mereka.
Dalam beberapa adegan nampak persaingan dari para kandidat merebut simpati agar elektoral mereka meningkat dihari pemilihan. Salah satu hal yang menarik yakni kampus, dimana universitas-universitas ternama selalu menjadi tempat seksi bagi para calon Presiden dan Wakil Presiden untuk memaparkan visi-misi bahkan menjadi tempat pelaksanaan debatnya, bukan tempat untuk deklarasinya seperti yang terlihat dalam alur film.
Hape saya buka. WAG sejak beberapa waktu lalu menyimpan percakapan yang belum sempat terbaca. Group WA alumni di tempat saya mengenyam pendidikan di Strata satu notifikasi percakapannya cukup ramai. Saat membuka percakapannya, tersirat tensi agak tinggi disetiap komentar pada tema yang membahas potongan sebuah video.
Sebuah rekaman yang hanya menampilkan kerumunan orang, dengan background suara berteriak lantang plus narasi semacam deklarasi dan menyebut angka 40 ribu alumni mendukung. Sontak saya terkaget. Kegilaan macam apa ini? ini jahat, asli jahat guman saya. Bagaimana mungkin ada pengklaiman semacam ini.
Angka yang disebutkan itu selain kurang realistis keabsahan jumlahnya, mau tak mau saya juga ada didalamnya.
Mengenyam pendidikan di strata Dua dan strata Tiga pada kampus ternama itu belumlah mengalahkan kebanggaan saya kuliah dan melanjutkan karir sebagai akademisi ditempat ini.
Tempat yang dulunya hanya Swalayan dekat perkampungan ditengah kota. Dengan fasilitas tempat bermain dan bioskop kecil yang kemudian disulap menjadi sebuah kampus. Tahun 2001, saya salah satu dari ratusan mahasiswa yang memiliki Stambuk kode awal sebagai angkatan pertama.
Sekitar 8 buah ruang kelas yang disekat dengan tripleks, antrian menunggu didepan ruangan oleh karna kelas keburu terpakai oleh fakultas lain, dan masih banyak kisah penuh kenangan diawal tahun berdirinya kampus itu.
Tak ada wajah kampus dalam gedung itu. Butuh jiwa yang tegar untuk mengangkat wajah kami disetiap momen berinteraksi kegiatan lembaga diluar kampus dan menyebut nama kampus ini. “Hei…. Itu khan swalayan tempat bermain saya waktu masih kecil, sekarang jadi kampus yah?” Kata salah seorang mahasiswa Universitas Negeri teman duduk berseblahan saya di pengkaderan saat masih semester awal kala itu. Saya jawab “iya, itu kampus kami” , meski agak memaksakan dengan suara sedikit tegas, namun tetap bangga disini. ini almamater kami, itu harga mati guman saya.
Namun kenapa ada hal tak lazim seperti ini. Beberapa hari ini saya mengalami kondisi agak sulit tidur oleh karena acapkali terlintas kalimat-kalimat penegasan dalam video itu. Rekaman Ini sangat melukai saya pribadi dan mungkin juga melukai hati teman-teman sesama alumni.
Proses akademik kami yang dilegitimasi selembar ijazah dan transkrip nilai rupanya belum menuntaskan satu status kami sebagai alumni. Kami mendapati satu status lagi yang tak pernah terprediksi sebelumnya. Status mendukung balon capres dan cawapres yang belum tentu juga dukungan ini bisa membantu sang calon hingga ketahap mendapatkan nomor urut calon dari KPU RI.