Alarm ‘Kepunahan’ Kampus Gaptek Di Zona Nyaman

Alarm ‘Kepunahan’ Kampus Gaptek Di Zona Nyaman

Zaman bergerak begitu cepat. algoritma mengambil peran tak nyata dalam mengatur siklus aktivitas manusia. Kehidupan kita telah banyak dikendalikan oleh algoritma ini.

Bagaimana pengemudi dan penumpang dipertemukan, bagaimana pembeli dan penjual bertransaksi tanpa pernah bertemu langsung, bagaimana seorang laki-laki dan perempuan dipertemukan menjadi pasangan kekasih bahkan menjadi pasangan ilegal walau salah satunya adalah korban filter kamera.

Bahkan bagaimana minat seorang calon mahasiswa dipertemukan dengan kampus tanpa harus berlelah ria berkunjung langsung ke lokasi kampusnya. Semua dalam satu kerja algoritma dalam sebuah aplikasi.

Darurat Busur: Gagal fokus lalu tertancap, umuruknumi!

Darurat Busur: Gagal fokus lalu tertancap, umuruknumi!

Beberapa hari ini saya cukup kuatir keluar malam ataupun pulang larut malam. Persoalannya cukup sederhana, rasa cemas dan kuatir melintas sendirian di beberapa tempat di Kota yang lagi ikut judul-judulan Metaverse ini.

Banyaknya kasus penyerangan tanpa alasan yang jelas dengan menggunakan senjata khas anak begal Makassar bernama busur. Dari beberapa data dan fakta kejadian beberapa daerah di Sulsel yang di share oleh sahabat saya di WA cukup membuat saya tersentak.
Dimulai dari kejadian yang cukup mengiris hati kita.

Seorang ibu membawa bola mata anaknya ke kantor polisi. Anaknya buta permanen saat dibusur orang tak dikenal ketika sedang bekerja di bengkel. Beberapa hari sebelumnya kasus yang sama juga menimpa seorang driver taksi online. Saat sedang membuka kaca mobilnya setelah mengantar penumpang, saat hendak merokok, tiba-tiba wajahnya sudah tertancap busur.

Dan di akhir April lalu, ada seorang warga sedang dalam perjalanan di terowongan dua jalur tol di wilayah kota daeng ini. Tiba-tiba dia berpapasan dengan segerombolan pemotor yang dengan sigap menarik busurnya dan bersarang tepat di lengan kanan warga tadi.

Jadi wajar khan saya menjadi cemas dan kuatir, dan siapapun juga lumrah jika merasa was-was akan keselamatan terhadap diri sendiri.
Harus diakui, kurangnya kesadaran diri menjadi cerminan kenaifan lingkungan terkecil dalam kehidupan para pelaku. Sadar ataupun tidak, lingkungan keluarga adalah penyumbang pertama dalam sebab-musabab tingginya prilaku tak terkendali dari sekelompok anak dibawah umur dan remaja ini.

Meskipun argumen-argumen pembelaan para orang tua mereka bahwa mereka telah berupaya maksimal dalam mengawasi dan mendidik, hemat kami ini masih cenderung bersifat alibi. Apa yang membuat para pelaku ini mengekspresikan ambisi-ambisi dari keinginan mereka mendapatkan pengakuan rekruitmen kelompok begal agar menjadi bagian tetap komunitas para bajingan cilik tak bertanggung jawab ini?

Memang benar, selain alasan mencari eksistensi diri ada sejumlah alasan sosial yang berupaya mengontribusikan penerimaan positif masyarakat bahwa mereka masih dibawah umur, mereka dalam pengaruh obat terlarang, mereka hanya ikut-ikutan. Namun apakah alasan ini akan selalu menjadi permakluman kita dalam menerima perilaku reaktif mereka menarik busur dan mengarahkan kepada siapapun yang mereka kehendaki tanpa alasan yang jelas?

Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Kepolisian diberbagai tingkatan sepertinya memang butuh peningkatan level respons atas kejadian ini. Kasus ini memang kasus klasik, dari tahun ‘gajah’ hingga sekarang selalu pasang surut, baik dari kemunculannya juga penanganannya. Ketepatan penanganan dan kualitas refleksi terhadap kasus per kasus serta peluang kemunculan kejahatan berikutnya sangat dibutuhkan. Hal ini akan menjadikan masyarakat bisa lebih tenang dalam beraktivitas dimalam hari.

Perlu penindakan tegas kepada para pelaku, intervensi dari luar oleh karena kedekatan pelaku pada elit tertentu jika memang ada itu diabaikan saja dulu. Sebab selain pertimbangan keamanan masyarakat yang tak punya masalah dengan mereka, ini juga menyangkut bagaimana mengembalikan mereka ke jalur yang benar dalam pergaulan pasca menjalani efek jera. Pemberian efek jera akan menjadi penegasan sekaligus bukti kuat bahwa pemerintah dan kepolisian tidak kalah oleh ulah segelintir orang ini.

Sikap tegas ini akan terjustifikasi secara luas bahwa keselamatan dan keamanan masyarakat adalah prioritas mereka, dan tidak boleh ada segelintir kelompok yang merasa sok jago melesatkan busur kepada siapapun dan apapun alasannya. Jika ada yang melakukannya, maka dengan pijakan aturan dan pertimbangan norma sosial, mereka akan mendapatkan ganjaran hukuman berat.

Jika tak kunjung teratasi, maka darurat busur akan menjadi label tepat pada fenomena ini. Sebuah keadaan dimana ketakutan hadir dan dibutuhkannya fokus dalam melihat keadaan sekitar dimalam hari itu hadir secara bersamaan. Sesuatu yang sulit untuk dilakukan memang. Belum lagi phobia ikut meramaikan dalam kondisi psikis kita.

Kita berharap dalam beberapa hari kedepan suasana kembali kondusif. Para pelaku pembusuran yang merupakan para jagoan idiot itu tak boleh diberikan lagi ruang untuk mengembangkan elemen kreatif ‘kajili-jilinya’ (baca : sikap tak terkontrol) dan perilaku nyeleneh mereka yang mampu menghadirkan ketakutan yang cukup signifikan dalam masyarakat.

Kita tetap perlu waspada, sebab ancaman busur setiap saat mengintai. Tak boleh gagal fokus, lengah sedikit , busur tertancap, Ubur-ubur makan mie, umuruknumi. Dan petugas pun baru datang mengamankan TKP, ini bukan film India khan??

Belajar dari Kasus Holiwings, Jaga sakralitas Agama

Belajar dari Kasus Holiwings, Jaga sakralitas Agama

Kasus Holywings ini memang cukup menyerap emosi umat Islam maupun Nasrani di Indonesia. Terlepas dari kesengajaan ataupun kekhilafan yang dilakukan oleh internal Holywings ini menjadi persoalan yang serius lantaran melakukan pelecehan terhadap dua nama yang sangat disakralkan khususnya oleh umat Islam .

Minuman keras adalah bagian dari perjalanan kehidupan sosial kita yang mungkin dilihat dalam berbagai perspektif perihal posisi halal, haram maupun bolehnya, ini tergantung dari prinsip ajaran agama yang ada di Indonesia. Namun hampir semua agama bermuara pada satu nilai bahwa minuman keras tersebut bisa menjadi sumber lahirnya kekerasan dan kejahatan.

Lalu muncul oknum di Holywings yang memicu kemarahan secara massif dengan hal konyol berupa promosi di minuman gratis itu. Kejadian ini menandakan bahwa di Indonesia ini acapkali kebebasan berekspresi dan berapresiasi tidak dipahami substansi dan batasan boleh tidaknya. Level pelecehan ini sederajat dengan melecehkan kitab suci umat Islam.

Dan ini bisa saja menjadi awal bagi munculnya kejadian serupa jika tak ditindaki dengan tegas oleh pemerintah. Alibi pengelola soal tenaga kerja mereka yang sekitar 3 ribuan orang ini memang perlu menjadi catatan khusus pemerintah. Kita berharap sanksi tegas yang diberikan ini mampu membuat perubahan secara signifikan pengelolaan tempat dengan konsep yang sama di seluruh Indonesia agar tetap bisa menjaga perasaan ummat beragama khususnya Islam.

Bahwa hal-hal sakral dalam agama agar sebisa mungkin tetap dijaga dengan selalu menghindarkan hal-hal yang bisa memicu kemarahan secara spontan dan massif dari masyarakat beragama kita di Indonesia.