LGBT dan Kenaifan Pilihan “Terjatuh Pada Lobang Yang Sama”
Dunia tiba-tiba dihebohkan dengan maraknya penyebaran cacar monyet. Diberbagai pemberitaan media online menegaskan bahwa yang terkena adalah sebahagian besar dari kelompok Lesbian, Gay, dan Biseks.
Di Spanyol kaum LGBT banyak terinfeksi sehabis bermandi sauna, kasus ditempat lain lewat hubungan seksual sejenis. Dan masih banyak kasus-kasus yang terus bermunculan dari penjuru dunia.
Kontroversi semakin menghangat saat kedutaan Inggris di Indonesia beberapa hari lalu menaikkan bendera Pelangi simbol kaum LGBT ini. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah teritorial mereka yang tak bisa diganggu.
Tapi tak sedikit juga berpendapat bahwa ini adalah persoalan etika di negeri kita Indonesia, kedutaan Inggris mestinya menghormati itu. World Bank pun dalam akun twitternya menuliskan statemen dukungan mereka pada kaum ini secara vulgar.
Teman saya yang berstatus ayah bagi 2 anak laki-laki cilik yang menyaksikan hal tersebut sontak kaget dan merasa kuatir dengan kondisi generasi khususnya kedua buah hatinya di masa mendatang.
Wajarlah reaksi akan keberanian mereka mendeklarasikan diri secara terang-terangan di Indonesia ditanggapi negatif di negeri ini. Bahwa ini tak sesuai kaidah-kaidah kehidupan sosial religius masyarakat kita di Indonesia.
Meskipun memang tak bisa dipungkiri bahwa fenomena LGBT juga merupakan tindakan hasrat manusia yang tersatukan dalam kondisi sosial. Namun bagaimanapun juga siapapun yang tinggal dalam situasi sosial masih tetap manusia, dimana tindakan dan hasrat mereka harus tunduk pada kaidah-kaidah sosial kita yang diperkuat oleh nilai kearifan lokal.
Belum lagi mereka mesti tunduk pada hakikat penciptaan manusia seperti yang ditegaskan dalam kitab suci khususnya Al Quran tentang diciptakan berpasang-pasangan antara Laki-laki dan perempuan, bukan pasangan sejenis.
Dalam pendekatan Adrienne Rich cenderung melihat isu lesbian terkait dengan posisi politik wanita dalam membangun sesuatu yang berpusat pada kaum hawa dan pada spektrum menciptakan sebuah defenisi terbarukan tentang identitas seorang wanita.
Sementara fenomena Biseksual kadangkala menempatkan wanita hanya sebagai pelengkap dari kecenderungan seksual laki-laki yang homoseksual.
Dalam Genologi Feminis, Ahyar Anwar melihat bahwa Fenomena Gay juga punya hubungan meski tak banyak dengan tekanan masyarakat secara sosial, budaya dan agama terhadap perilaku seks gay yang masih dianggap aneh dan menyimpang.
Pada akhirnya kondisi tersebut yang memaksa mereka melakukan kedekatan intim dengan wanita untuk melakukan kamuflase agar kecenderungan seks sesama jenisnya dapat tertutupi.
Namun setelah menjadi sebuah gerakan struktural bernama LGBT dan berbendara pelangi, mereka pun tanpa terbebani sedikitpun memproklamirkan ke publik kecenderungan seks mereka yang menyimpang.
Tak sedikit yang menjustifikasi, bahwa terjadi kurangnya kesadaran religiusitas menjadi cerminan kenaifan saudara kembar sisi historis kaum sodom ini.
Dengan pendekatan tradisi intelektual, terutama para filosof dan guru-guru sufi yang menggunakan serangkaian bukti rasional dan analogi yang mengembangkan gagasan bahwa makrokosmos dan mikrokosmos adalah representasi wujud dari tanda-tanda Allah.
Dan bagaimana Rahim wanita itu adalah sebagai mikrokosmos sekaligus sebagai alam, dimana tetes air mani dari manusia adalah substansi pertama dari mikrokosmos tersebut.
Kalimat di atas walau diulang berkali-kali tetap tak akan mempan menembus logika dan hati kaum LGBT. Rahim buat mengandung adalah urusan yang bisa dimaklumkan dengan alternatif lain yakni mengadopsi anak.
Alasannya sederhana, ini kodrat kami, menurut ketua salah satu komunitas LGBT yang sempat berdiskusi dengan salah satu rekan akademisi saya disebuah forum tak resmi. Mereka lupa bahwa rahim merupakan mikrokosmos yang keramat yang mengatasi dan meliputi manusia dalam penataan realitas kehidupan.
Konsepsi ini dipertegas dengan kehadiran nilai agama yang memberikan tameng pamungkas dalam menghadapi kecemasan Anomi (tindakan masa bodoh).
Gagasan tematik LGBT harus diakui sebagai sesuatu yang sangat kuat yang dimunculkan sebagai sebuah gerakan struktural, sistematis dan massif. Mereka secara terbuka mengungkapkan hasrat seksualnya yang bebas dan liar. Celakanya, perilaku ini semakin hari tak lagi dianggap sebagai sebuah penyimpangan seksual.
Pilihan mereka hidup berumah tangga dalam sebuah ‘pernikahan’ itu melanggar apa yang diistilahkan “sesuai bathin ketimuran”. Dimana pola-pola budaya barat mereka teguhkan sebagai nilai standar dalam kehidupan, tapi justru nilai itu membuat mereka semakin termarjinalkan.
Mengapa, sebab nilai-nilai agama ditambah adat ketimuran kita tak punya ruang lebih pada bathin mereka, yang cepat atau lambat mereka akan merasa ngeri sendiri terhadap perilaku dirinya.
Budaya LGBT ini secara tak sadar membuat mereka dekat dari sebuah hubungan yang tidak benar dengan alam, yang berimplikasi pada tak terlindunginya mereka dari mimpi buruk ancaman-ancaman ‘kekacauan’ dan ketakteraturan norma sosial.
Terlempar dari hubungan yang “benar” berarti tersingkir ke tepi jurang ketanpa-maknaan. Sebab aktivitas variasi gaya di tingkatan imajinasi seksualitas mereka, tetap saja kehilangan makna hakiki.
Menjatuhkan diri pada lobang yang sama selain akan berefek mengurangi daya letupan suara pada metabolisme tubuh mereka, itu juga akan mempercepat murka Allah dalam bentuk azab. Bukankah sejarah kaum Nabi Luth adalah sebaik-baiknya pelajaran bagi kita di ummat akhir zaman ini? Wallahu A’lam.
Pilih Berpuasa Demo atau Yang Berkuasa didemo?
Saat ini, kadangkala pada permukaan kita memilih untuk terlihat tidak peduli, bagaimana seseorang menganalisis kecenderungan kondisi perpolitikan bangsa ini pada konteks yang berbeda-beda dalam sebuah ruang diskusi tak resmi ataupun resmi.
Namun dalam realitanya, tak sedikit kesempatan yang mengindikasikan dan justru membuktikan ketertarikan kita untuk ikut serta menyumbang analisis saat diskusi diberbagai sudut pandang. Entah itu dari sudut pandang Sosiologis hingga sisi Cocoklogis (istilah asal mencocok-cocokkan saja, yang penting ketemu ujungnya).
Membahas soal politik bangsa ini dan segala tetek bengeknya tak pernah habis daya minat pesertanya. Dan rakyat selalu memiliki peran ganda, menjadi peserta, pelaku, pengamat bahkan lebih langganan menjadi korbannya.
Demikianlah keadaan masyarakat kita sekarang ini.
Dalam konteks posisinya sebagai rakyat, ruang untuk menuju kedewasaan dalam berdemokrasi, efektifnya hanya sekali dalam 5 tahun, yakni pada momentum Pilpres, Pileg, atau di saat Pilgub dan pemilihan Walikota atau Bupati. Sebuah pelajaran berulang agar dewasa berdemokrasi, namun pada prakteknya justru menjadikan semakin jauh dari kedewasaan itu sendiri.
Upaya Kedewasaan berdemokrasi yang kadang harus diikuti fatwa haram kalau golput. Fatwa yang tanpa ada pengecualian dan mencoba berhusnudzon soal keputusan orang yang melakukan golput itu. Dimana bisa jadi pilihan golput lahir dari sikap peduli yang mendalam terhadap persoalan bangsa.
Dan justru segelintir person yang pergi memilih bisa jadi adalah wujud kepedulian dikarenakan dorongan serangan fajar dengan nominal yang mengoyahkan idealisme.
Upaya menuju kedewasaan berdemokrasi bernama pemilu yang sekaligus menjadi hajatan ‘pesta’ bagi rakyat mendadak dipermasalahkan.
Ada kelompok yang meminta ditunda dan di sebagian yang lain mengingatkan agar jangan ada penundaan hajatan besar bangsa ini. Apatahlagi didalamnya konon ada terendus oleh para mahasiswa diberbagai kampus di negeri ini, soal upaya pengkhiantan konstitusi dan semangat reformasi dengan menambah-nambah periode masa jabatan.
Beredar secara berantai pesan di WAG perihal rencana aksi di tanggal 11 April 2022 yang akan serentak dilakukan oleh berbagai elemen Mahasiswa di seluruh Indonesia. Ada kemungkinan ini adalah sebuah riak dalam upaya mengembangkan kondisi-kondisi bagi refleksi diri semangat bermahasiswa yang dalam beberapa tahun terakhir nyaris kehilangan kritisnya seperti di orde-orde sebelumnya.
Entahlah. Namun rencana Demo di bulan Puasa ini juga tak luput dari pengamatan tetangga saya, dimana dia merekam pendapat aktivis di sebuah Jejaring Sosial. Aktivis yang tak jelas, dia dalam ketersesatan yang cukup serius sebagai orang yang merasa dirinya intelektual walau kesiangan.
Dia menempatkan dirinya sebagai pelawak dengan analisis aksi kuno tanpa penjabaran jelas bentuk aksi yang pas dengan semangat kebangsaan dan tradisi hidup dan kehidupan menjadi mahasiswa di Indonesia. Bangsa kita ini khan sudah jelas yang bisa menarik perhatiannya sejak jaman radio, televisi hingga internet, dimana masih didominasi oleh stigma ‘rusuh’ baru seru.
Bagi beberapa mahasiswa sendiri Kalau tidak rusuh tidak ramai aksinya. Ditambah lagi media peliput yang kadangkala butuh angel gambar yang sedang bakar-bakaran dan lempar-lemparan agar adrenalin penonton televisi ikut naik dan tak memindahkan channelnya walau iklan ikut menyela pemberitaan ini. Video Youtube dan Video singkat di beberapa jejaring sosial pun acapkali keributannya yang justru menarik minat kita untuk mengunduh dan menontonnya.
Tak sedikit yang akan bertanya-tanya soal mengapa penundaan pemilu ini mesti bergulir. Menariknya, permintaan itu justru terucap dari beberapa ketua parpol malah. Padahal jika kita cermati dari berbagai pemberitaan, KPU dan Bawaslu diberbagai tingkatan, itu terlihat cukup siap menyongsong hajatan di 2024 ini.
Dan jangan lupa, sejumlah Rumah Sakit Jiwa pun kelihatannya sudah terlihat cukup siap mengantisipasi lonjakan pasien, khusus bagi para kontestan pemilihan legislatif yang tak kuasa menghindari beban psikis alias depresi karena kegagalannya.
Seyogyanya ragam perspektif dan persepsi dalam melihat rencana aksi 11 April ini dipandang sebagai sebuah dinamika pemikiran dan kekayaan analitis.
Bulan Ramadhan menjadi alasan bagi banyak pihak dan menyarankan agar Mahasiswa menahan diri dari aksi mendemo Penguasa.
Dan rasa-rasanya tak bijak jika kita benturkan dengan asumsi “puasa ramadhan kita harus menahan diri”. Karena hemat saya, puasa bukan soal itu saja. Tapi masih ada aspek hak, kewajiban, dan anjuran.
Saat tak sedikit orang merasa bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja, dan mereka memutuskan untuk turun kejalan meminta para ulil amri di Indonesia agar berlaku bijak dan adil, kita jangan serta merta memvonis bahwa mereka tidak menghormati bulan ramadhan.
Jangan-jangan semangat beribadah mereka dalam meneriakkan sebuah kebaikan bagi ummat, justru menghadirkan pahala yang banyak dan kita yang menganjurkan agar jangan demo justru mendapatkan dosa karena melarang mereka melakukan kebaikan.
Soal efek kemacetan dan beberapa aktivitas tertunda bagi para pengendara yang terjebak kemacetan, anggaplah bahwa itu sebagai bahagian dari ruang berbuat baik dan melatih kesabaran yang dihadirkan oleh Mahasiswa.
Berterima kasihlah ke mereka, yang hanya meminta sedekah waktu kita, yakni bergelut dengan macet demi niatan mereka memperbaiki bangsa ini. Kita tak boleh terlalu kikir walau itu hanya sedekah berbentuk pengorbanan waktu beberapa jam demi kebaikan negeri ini.
Puasa ramadhan ini juga tetap mengajarkan kita untuk bermental pejuang. Sebagai makhluk sosial dan khalifah Allah di muka bumi, yang memiliki daya juang untuk sesama, berupa berbagi rejeki dari hasil kerja kita selama ini. Dan daya juang untuk berbagi hasil perenungan kita selama ini, untuk kebaikan bangsa Indonesia.
Sebuah perenungan akan kondisi keummatan dan kebangsaan yang berwujud gerak-aksi bernama demonstrasi yang ‘kita’ wakilkan pada mahasiswa.
Bisa jadi kita yang sibuk beribadah ramadhan sebagai jamaah masjid, justru itu malah menggambarkan sebentuk ‘ego’ kita, karena hanya memikirkan diri sendiri.
Sementara mahasiswa yang aksi di jalan, justru adalah jamaah demokrasi, jamaah kemanusiaan yang lebih paham dan tergerak berpanas-panasan di bulan ramadhan, demi kebaikan bangsa, demi mewakili kesulitan rakyat yang berupaya bangkit ditengah pandemi.
Mereka bisa jadi adalah jamaah peradaban bangsa ini dimasa yang akan datang. Dan mereka justru lebih paham, kapan berpuasa demo dan kapan yang berkuasa di demo. Wallahu A’lam.
Puasa Pertama dan Puasa Pertamax
Dalam beberapa peristiwa, tak mesti dibutuhkan analisis komparatif dan historis untuk membuktikan sebuah kecenderungan perbedaan. Terlebih pada soal kapan mulai puasa pertama di tiap tahunnya.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan pada perbedaan puasa pertama di Indonesia tak lagi terjadi secara massif.
Tentunya Komunitas Islam di An-Nadzir tetap menjadi pengecualian. Dimana awal Ramadhan dan berlebaran berdasarkan perhitungan versi mereka, acapkali membuatnya lebih awal dalam melaksanakan pada lingkup komunitasnya.
Tahun ini puasa pertama Ramadhan akhirnya beda juga.
Edaran Muhammadiyah yang sempat terposting dibeberapa akun media sosial, pada akhirnya membuat tak sedikit yang memilih berpuasa sehari lebih awal dari putusan pemerintah.
Kita tak usah berdebat soal siapa yang benar dan siapa yang paling benar akan hal ini. Yang jelas bahwa yang keliru adalah yang tidak berpuasa lantas keluar rumah berpura-pura loyo, padahal mulutnya bau Rokok dan sambel terasi.
Puasa dalam konteks pemikiran Cak Nun, itu idealnya menjadi titik pijak sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia muslim.
Pertama barangkali pada spektrum kosmologis, lalu teologis lalu kemudian kultural.
Namun belum kita memulai tujuan gerak kita pada konteks diatas, dan juga belumlah reda rasa was-was masyarakat kita soal potensi terjadinya kelangkaan minyak goreng saat ramadhan dan saat jelang lebaran.
Mendadak puasa pertama ini dibarengi dengan kenaikan BBM pertamax yang dilakukan oleh pemerintah. Kenaikan yang dilakukan ini terlihat nampak santai, dan tak ada riak. Mungkin karena telah diprediksi bahwa jika dinaikkan diawal Ramadhan maka aksi demo akan bisa diminimalisir.
Sepertinya masyarakat kita mungkin masih dalam keadaan sehat-sehat saja. Karena biasanya jika masyarakat tidak sehat akan terjadi ketidakteraturan (kekacauan), kecenderungan konflik,
perpecahan dan persengketaan karena sosialisasi BBM tidak berjalan dengan baik.
Namun aneh bin ajaib memang. Kenaikan harga Pertamax ini hal yang dikuatirkan di atas tidaklah terjadi.
Mungkin Ramadhan hadir tepat disaat pemerintah sudah sangat siap menyambutnya dengan tepat, walau itu dengan kebijakan kurang tepat bernama kenaikan Pertamax yang jauh-jauh hari telah mereka perhitungkan.
Puasa pertama ini memang harus jadi momentum bagi masyarakat kita agar lebih siap menjadi masyarakat digital yang tetap menjunjung nilai-nilai Islam. Bukan masyarakat Kapitalis di Industri modern.
Sebab hanya pada masyarakat kapitalis di industri modernlah menjadi rutin bagi para penguasa untuk bertindak atas alasan efisiensi dan penuh perhitungan, bukan karena alasan emosi atau tradisi, atau karena kesetiaan kepada pemikiran yang sempit.
Walau pun pada akhirnya beberapa hari lalu salah satu petinggi negara ini di video singkat yang beredar tetap menganggap kecenderungan kurang piknik (mengarah berfikir sempit) bagi yang mempersoalkan dan tegas dalam membahas TOA di mesjid.
Puasa pertama kali ini juga kita harapkan menjadikan kita pribadi yang menduniakan yaumil akhir, mengakhiratkan kehidupan dunia serta mendunia-akhiratkan hidup dan kehidupan kita dalam jangka panjang.
Kenaikan BBM pertamax anggaplah sebagai salah satu ujian tambahan kita menuju kategori orang-orang yang bertakwa. Dan pada akhirnya kita menjadi pribadi yang kuat serta rasional pada pilihan-pilihan berdasarkan keyakinan kapan Puasa Pertama atau kapan Puasa pertamax. Wallahu A’lam.
Papa Antre Solar, Mama Antre Minyak Goreng, Sessajaki!!
Beberapa hari ini peristiwa kelangkaan minyak goreng juga dibarengi dengan kelangkaan BBM jenis Solar cukup marak terjadi di Sulsel. Dua kebutuhan fundamen yang nyaris membuat sebahagian masyarakat kita nyaris frustasi mencari kedua barang ini.
Dikalangan emak-emak, ketidakmampuan untuk menahan gejolak bathin ketika masakan genre gorengan tidak ada di meja adalah hal yang sulit dihindari. Saya ingat kata teman saya, seorang emak-emak dari tiga orang anak, adakah yang lebih enak dari gorengan? Tak sempurna rasanya masakan buat keluarga jika bahannya tak melewati proses di wajan dengan alunan suara mendidihnya minyak goreng.
Sementara di lain sisi, kelangkaan solar cukup berdampak terhadap distribusi berbagai bahan kedaerah-daerah, oleh karena mobil besar dengan muatan banyak bernama truk bahan bakar utamanya adalah solar. Beberapa mobil keluarga pun masih banyak berbahan bakar solar, yang otomatis berdampak pada aktivitas keseharian keluarga yang mengharuskan menggunakan kendaraan mobil. Ini menjadi PR tersendiri memang bagi bapak-bapak didalam mensupport rutinitas dalam keluarganya.
Kelangkaan solar pada negara kita yang tergolong kaya dengan minyak, kadang memunculkan kebingungan tersendiri yang sulit untuk dijelaskan.
Penyerbuan kaum emak-emak di mini market-mini market buat berebut stok minyak goreng kemasan juga membuat kita miris.
Negara dengan status penghasil sawit terbanyak di dunia sejak 2006 kok mengalami kelangkaan minyak goreng? ibu-ibu rumah tangga di Indonesia sepertinya akan menjalani ramadhan penuh was-was, oleh karena masakan mereka terancam tak mencapai hasil maksimal dimana minyak goreng berpotensi tak menjadi salah satu bahan yang tersedia selama sebulan.
Kelangkaan solar juga cukup membuat was-was. Jika para pengusaha angkutan terpaksa beralih ke Dexlite, maka otomatis akan terjadi penyesuaian harga pada barang-barang lain, dan endingnya dalam kelar sudah hidup susah kita.
Membayangkan Sulsel Tanpa Wakil Gubernur
Salah satu aktivitas utama yang menjadi pekerjaan seorang Calon Gubernur bersama Timnya adalah memikirkan dan melobby Tokoh dengan popularitas mumpuni untuk dilamar menjadi calon Wakil Gubernur yang siap mendampingi.
Tentunya banyak pertimbangan yang mesti tetap dilakukan sebelum menentukan Pasangan tersebut layak untuk didorong maju.
Ini proses episode awal yang tak mesti kita urai kontekstualitas tindakan dilevel struktur tim sukses mereka. Meski ini juga tak boleh dianggap sebagai salah satu aktivitas dan geliat remeh dalam tim.
Episode kedua adalah semacam Ujian lanjutan yang mereka harus lalui. Biasanya cukup berat pasca mereka telah memenangkan pemilihan.
Entah karena pembagian tugas dan wewenang, pembagian jabatan kadis dan lainnya. Atau pembagian-pembagian tertentu yang agak sensitif dan menimbulkan ketersinggungan, dimana masing-masing membela sentralitas perannya.
Ketersinggungan itu kemudian melahirkan respon kejut tertentu. Misalnya kita dapati keretakan hubungan terjadi di 3-4 bulan awal atau sebelum menyentuh usia setahun yang terbawa hingga akhir periode.
Di salahsatu Kabupaten di Sulsel malah dalam hitungan tak sampai dua bulan pasca pelantikan, Sang wakil sudah senter terpublikasi akan maju menjadi calon Bupati.
Tak kalah menarik perihal fenomena yang riil dari ketakprediksian atas kejadian luarbiasa yang selalu berpotensi menimpa salah satu dari kedua orang dipasangan pemerintahan ini.
Peristiwa OTT yang menimpa Gubernur NA beberapa waktu lalu memang cukup menghambat upaya gerak maju pemerintahan dan pembangunan.
Fungsi pengambilan keputusan secara kolektif demi kebaikan Sulsel yang merupakan aktivitas perwujudan upaya pencapaian janji politik mereka yang tertuang dalam uraian Visi dan Misi, mengalami kebuntuan sesaat.
Untunglah Wakil Gubernur saat itu bisa tetap fokus dan mengambil langkah yang cepat dan tepat dalam menjaga stabilitas pemerintahan Provinsi.
Di episode ketiga ini, rupanya ujiannya berbeda kondisi.
Mencari calon Wakil Gubernur yang menggantikan posisinya oleh karena regulasi yang membuat plt Gubernur harus naik kelas menjadi orang pertama di Sulsel. Jika dicermati sepintas, seperti ada kondisi alot atau mungkin ‘kebuntuan’ menentukan figur yang pas.
Calon Wakil Gubernur pengganti ini memang bukan saja mengenai perwujudan dan representasi keterwakilan Parpol pengusung, namun lebih dari itu, Gubernur butuh pendamping yang handal dan kuat dalam Ide, jaringan dan kemampuan leadership dalam mencari solusi bagi kompleksitas persoalan sosial kemasyarakatan di Sulsel.
Valentine Day, ungkapan kasih sayang situasional Lintas Kelas Sosial
Fenomena Sosial di tahun 2022
Berbagai macam fenomena sosial yang terjadi selama tahun 2022 ini cukup mewarnai perjalanan masyarakat kita di Indonesia. Dari trending Tagar #gaymakassar diawal tahun, dimana mendapat reaksi negatif dari masyarakat khususnya pada gerakan LGBT di Indonesia.
Lalu munculnya analogi suara TOA di masjid dengan lolongan anjing oleh salah orang pejabat tinggi di negeri ini.
Kenaikan BBM yang mendapatkan respon yang cukup kuat khususnya pada penolakannya. Kelangkaan solar dan minyak goreng yang tidak berbeda jauh jarak waktunya dengan viralnya mba Rara lewat aksinya sebagai pawang hujan di pagelaran motoGP di sirkuit Mandalika.
Persoalan pembunuhan yang dilatar belakang cemburu, mulai dari yang dilakukan oleh IA (Almarhum) mantan Kasatpol PP Makassar, hingga pembunuhan yang konon dengan latar belakang yang sama oleh FS beserta beberapa orang menghabisi Brigadir J.