Hardiknas, Menghardik Apatisme kita Bagi Nasib Guru Honorer
Percaya atau tidak, Amat sedikit bangsa di muka bumi ini bisa sehebat
bangsa kita. Entah itu dalam hal kualitas Sumber Daya Manusia, karakter individu ataupun
kemampuan leadershipnya. Tokoh-tokoh bangsa kita ini mampu memahami banyak hal.
Seandainya di muka bumi ini sedang butuh presiden dan wakil presiden, menteri, politikus, aktivis, wartawan, ustaz, budayawan, ekonom, pemerhati sosial, pemerhati budaya, bankir beserta komisaris dan direkturnya, Indonesia memilikinya stok melimpah yang mampu mengisi posisi di atas.
Hampir di semua bidang kita potensial untuk mengungguli bangsa lain. Kecuali ketika hal itu sudah dikondisikan oleh wasit utama dan wasit VAR, bisa dipastikan kita akan keok lebih awal seperti yang mendera timnas U23 kita beberapa waktu lalu.
Dan hanya peristiwa kekalahan Timnas U23 kita ini yang mampu menyatukan semua profesi dan jabatan di atas, itulah uniknya bangsa kita ini. Dua hari terakhir ini memang tema sepakbola dan wasit masih hangat untuk diperbincangkan, dan pada akhirnya tema pilpres 2024 pun mereda.
Disela hari yang cukup menyerap emosi tersebut, tepat di tanggal 2 Mei ini, hari pendidikan nasional hadir dengan temanya yang masih seputar pada salah satu program andalan bapak menteri Pendidikan kita, Merdeka Belajar. Tema yang dalam kalimat lengkapnya “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Sebuah ajakan yang penuh optimisme khususnya bagi para tenaga pengajar di seluruh penjuru negeri.
Ironi Honorer
Dalam pendekatan sosiologis, sekolah sebagai contoh regionalisasi ruang-waktu dan lokasi
tertentu, karena sekolah menekankan jenis rutinitas sosial tertentu. Sebagai institusi yang terpisah dari waktu dan interaksi sehari-hari, sekolah sebagai bentuk organisasi sosial mendistribusikan pertemuan melintasi ruang dan waktu, melakukan regionalisasi secara internal, dan memiliki konteks khusus untuk wilayah tersebut.
Mengutip pendapat dari Giddens (1998), bahwa Sekolah harus mengembangkan penghematan waktu yang tepat agar efektif. Selain itu, kontrol guru ditunjukkan dalam pentingnya postur tubuh dan jarak di dalam kelas.
Sekolah bukan sekadar institusi disipliner yang dalam pengertian Foucaul dikatakan bahwa oleh karena otoritasnya didasarkan pada kapasitas refleksif figur otoritas dan siswa. Guru harus memastikan rutinitas diikuti, dan memerlukan keterampilan interaktif untuk melakukan pengawasan dan sekuestrasi pengalaman.
Coba saja lakukan proses internalisasi lalu lanjutkan ke proses eksternalisasi, makankita akan merasakan, bahwa secara teoritik, para guru, siswa dan sekolah kita sebahagian besar telah memenuhi standarisasi dari apa yang kedua tokoh sosiologi itu ungkapkan. Kurang cerdas apalagi para tenaga pengajar kita dan produk keluarannya?
“Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.”
Anshar Aminullah
Namun hal yang ironis justru tetap terjadi, di beberapa tahun terakhir, tetap saja kita disibukkan dengan hal yang terus menerus dan seolah tak ada habisnya, yakni persoalan di dunia pendidikan kita berbentuk pertanyaan klasik yang berulang dan berulang lagi. Menyangkut nasib guru honorer dengan status P untuk kategori P1, P2, dan P3 pada seleksi PPPK guru di tahun mendatang. Apakah guru honorer status P pada seleksi PPPK guru selanjutnya sudah bisa diangkat jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di tahun-tahun depan?
Cukup memprihatinkan memang, potensi luar biasa para guru honorer kita sepertinya harus pasrah karena belum didukung oleh struktur sosial-politik, budaya yang melingkupi mereka terutama yang berada di pelosok yang jauh dari jangkauan sinyal 4G bahkan siaran Televisi digital.
Guru honorer P1, P2 dan P3 saat baru memperoleh kode P saja, itu telah mensinyalkan bahwa mereka besar kemungkinan tidak lulus, dan para guru honorer dipastikan tidak akan mendapat penempatan di sekolah. Ini menjadi ironi disaat ada realita yang berbanding terbalik dengan pengabdian mereka yang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun yang sudah dilakukan oleh para saudara kita para guru honorer ini.
Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.
Semoga mampu mengangkat derajat para guru honorer kita baik secara status adminitratif di BKN maupun secara ekonomi. Sehingga pada akhirnya, para guru honorer kita menjadi lebih segar. Dan kecemerlangan akal dan intelektualitas mereka akan tegak dan menyinari dunia pendidikan kita dengan melahirkan generasi-generasi hebat dengan kemampuan “di depan memberi teladan, di tengah memberi inspirasi, di belakang memberi dorongan yang memerdekakan dan sarat faedah”.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
International Scientific Meeting Bersma IPEST
Kartini Masa Kini, diantara Emansipasi dan “Tungguma 5 Menit Jie”
Hari ini menjadi hari istimewa bagi para perempuan Indonesia. Sudah 145 tahun berlalu dari kelahiran seorang R.A. Kartini, dan hingga hari ini kelahirannya diperingati setiap tahun dalam rangka merefresh dan mereview kembali semangat para perempuan tanah air guna memberikan yang terbaik bagi negeri.
Di sela jelang peringatan hari Kartini tahun ini, ada ironi oleh karena tersisa sebuah duka mendalam. Adalah JU (35 Tahun), korban KDRT di jalan Kandea, Makassar yang harus rela kehilangan nyawanya di tangan suami yang dicintainya.
Peristiwa yang membuat pilu hati siapapun yang mendengarnya. Tak hanya fitnah kabur dengan pria lain, dikubur secara tak layak yang diawali aksi keji menjadi serangkaian cerita dari mendiang JU ini.
Kekerasan yang menimpa JU adalah satu dari ratusan bahkan ribuan kasus kekerasan di Indonesia yang mendera para wanita khususnya yang masih berstatus istri.
Peristiwa semacam ini seolah tak pernah ada habisnya. Dan cukup wajar, dari sekian banyak kasus perceraian, tak sedikit perempuanlah yang banyak melakukan gugatan.
Dan alasan KDRT selalu menjadi pemicu utamanya, sedikit diantaranya kemapanan ekonomi seorang istri dibanding sang suami juga menjadi salah satu penyumbang stimuli untuk mengajukan gugatan di pengadilan agama.
Pada ruang sosial, peran perempuan mungkin telah terdiferensiasi. Namun ini tak boleh menjadi perdebatan berlarut-larut.
Sebab kebebasan peran perempuan khususnya di perkotaan dalam berbagai segmen adalah sebuah diferensiasi yang dibawa oleh masyarakat modern yang tetap membutuhkan individu yang fleksibel dan rasional.
Singkatnya , seiring dengan semakin tidak ramahnya kota terhadap kehidupan masyarakat,
maka kepentingan diri sendiri menjadi semakin penting. Acapkali didapati satu rumah namun semuanya sibuk dengan dunia masing-masing.
Eksistensi kemapanan kaum perempuan pun di media sosial banyak kita jumpai, sebagai ibu-ibu pebisnis produk kosmetik dan pakaian. Keberhasilan bisnis yang memapankannya terlihat ke publik berupa tumpukan duit banyak hasil jerih payahnya.
Namun pun demikian, banyak diantaranya tetap menjadi wanita yang tawadhu yang artinya lebih sederhana dalam bersikap tanpa merendahkan diri sendiri.
Juga sebagai wanita tawadhu, yang percaya diri dalam tindakannya tapi tetap tidak merasa dirinya lebih baik dari wanita lain walau sebenarnya memiliki banyak kelebihan. Dan kita berharap hanya sedikit diantaranya dengan kategori Tawadu berbeda alias “Tahu Warna Duit”.
Hebat di bidangnya
Kita patut berbangga, negeri ini menjadi gudangnya wanita hebat di berbagai segmen kehidupan, khususnya di bidang politik.
Ini penting, sebab para perempuan Indonesia harus mafhum bahwa dalam Politik kehidupan memungkinkan “kembalinya mereka yang tertindas,” karena isu-isu moral dan eksistensial terkait dengan seksualitas, kesehatan, penyimpangan, dan sejenisnya menjadi bagian dari wacana publik.
Gerakan sosial baru mengedepankan isu-isu ini dan mengubah moral kehidupan sosial, seiring dengan meluasnya refleksivitas ke lebih banyak bidang di masyarakat.
Kita juga bangga ada sosok Kartini masa kini seperti seorang Puan Maharani, sosok ketua DPR RI yang kemungkinan besar akan menyandang kembali jabatan ini beberapa bulan kedepan untuk kali kedua.
Di Sulsel juga, kita tak kekurangan wanita-wanita hebat. Sebutlah Andi Ina Kartika Sari yang masih menjabat sebagai ketua DPRD Sulsel, Indah Putri Indriani orang nomor satu di Kabupaten Luwu Utara, serta Sekjend ICMI Pusat Andi Yuliani Paris yang juga untuk kali keempat duduk di DPR RI.
Dan seorang St Diza Rasyid Ali yang dengan kemampuan Leadershipnya, ketenangan serta tangan dinginnya, dia mampu memimpin ratusan ribu kader, bahkan mampu melahirkan ribuan kader-kader baru di Pemuda Pancasila dengan kualitas SDM yang mumpuni.
Demikianlah seharusnya persepsi yang tepat
dalam menilai wanita Indonesia. Bangsa Indonesia tidak membutuhkan kaum hawa yang hanya mampu banyak omong, kita butuh yang sadar bahwa makin arif seorang wanita, makin sedikit kata-katanya. Makin ‘sakti’ seorang wanita, makin pendek lembingnya.
Jika kita mengenal dunia kesusastraan, maka puisi tertinggi adalah yang kata-kata apa pun sudah tak mampu mewakili inti nilainya dalam menggambarkan luarbiasanya para Kartini kita di masa ini.
Dalam banyak kesempatan banyak diantara kita mungkin punya harapan positif, misalkan saja, bahwa betapa dahsyatnya kehidupan masyarakat kita kalau sebahagian besar para wanitanya di saat masih berusia belia, dia lebih membina dirinya agar memiliki kualitas hidup, dimana dia lebih memilih mengolah perilakunya ke tatanan yang berkualitas, dibandingkan dengan menghabiskan waktu membuat postingan medsos tak bermanfaat dan konten-konten yang kurang mendidik.
“Harus diakui, bahwa para wanita Indonesia adalah komponen sentral dari penciptaan peradaban bangsa ini.”
Anshar Aminullah
Meskipun kita tetap perlu memahami kondisi benturan irama masa muda mereka serta pilihan-pilihan nilai, hingga ke filosofi dan sikap batinnya yang masih kadang mengalami benturan dikarenakan kondisi labil di usia demikian.
Wanita belia jaman now ini juga tak boleh terjebak dikondisi gagal move on. Yang saat bersamaan didera oleh perasaan gelisah, galau dan merana hingga alisnya pun jadi pelampiasan untuk diresing-resing posisi lengkungan dan ketebalannya.
Dalam kapasitas sebagai pendamping pun, wanita sangat penting dia menjadi Istri yang cerdas, karna ini akan sangat berpengaruh pada mentalitas dan kualitas SDM anak-anaknya.
Ataukah menjadi istri saleha, karena ini akan berdampak pada ketenangan bathin dan suasana religius dalam keluarga. Dan bahkan menjelma menjadi istri yang pintar berbisnis, sebab ini akan menjadi penopang terbaik bagi keuangan keluarga.
Meskipun tetap saja ada sebahagian pria menganggap yang tak kalah penting dari ketiga itu adalah bagaimana ketiganya bisa hidup akur, aman dan saling menghargai. Namun yang perlu dicamkan baik-baik oleh para pria, bahwa seorang pria sukses itu selalu ada wanita hebat dan luarbiasa di sampingnya.
Bukan sosok wanita yang apabila sudah berkata “tungguma, 5 menit jie”, itu berarti sang suami harus menunggu dia dan bisa menggunakan waktu itu untuk sholat, cuci pakaian, pergi umroh, mudik bahkan cukup untuk ikut perang kemerdekaan”.
Mari kita rawat optimisme terhadap kebangkitan peran vital kaum perempuan dalam perjalanan bangsa ini kedepan. Sebab harus diakui, bahwa para wanita Indonesia adalah komponen sentral dari penciptaan peradaban bangsa ini.
Selamat Hari Kartini!
Buka Puasa Bersama, Konsolidasi Organisasi Dalam Balutan Religi
Mudik, Reuni Pasca Pemilu Dan ‘CLBK’ Di Hari Yang Fitri
Beberapa hari ini ada dua trend status Whatsapp, Facebook dan Instagram yang banyak menghiasi halaman media sosial, pertama mudik dan yang kedua macet. Setiap person mengabarkan aktivitas mudiknya tak lain dan tak bukan, sesungguhnya mereka sedang mengungkapkan kesetiaannya pada tuntutan jiwanya untuk bertemu, dan mengakrabkan kembali dengan asal usulnya.
Dalam pendekatan kultur dan perilaku sebagai makhluk sosial beserta sistem tata nilai yang disusun pada kolektivitas kehidupan kita, mudik seolah menjadi perjalanan spiritual untuk bereuni dengan kolega, keluarga serta para handai taulan di sebuah tempat terindah penuh sejarah bernama kampung halaman.
Bahkan, sekhilaf-khilafnya seseorang, dimana dia mungkin memandang dunia ini sebagai tujuan, dan seluruh aktivitas personalnya termasuk dalam hal dukung mendukung calon legislatif, bahkan calon Presiden, orang tersebut dapat dipastikan akan berupaya maksimal agar tetap memiliki keterkaitan dengan Idul fitri yang kemudian dipertegas dengan ikut bermudik.
Salah satu hal yang membuat kita ikut terharu, dimana puasa tahun ini tak sedikit oknum pejabat menjadi alim dan begitu khusuk dalam beribadah. Tasbih mereka untuk wiridan cukup aktif berputar, putaran tasbihnya semakin kencang saat beriringan dengan ingatan bahwa namanya masuk dalam daftar buruan KPK dan Kejaksaan. Sebuah ironi memang.
Tuhan menjadi tempat kembali saat mereka terdesak oleh kondisi, disaat nikmat harta bergelimang dan nikmat jabatan Tuhan hanya menjadi perhiasan kaligrafi di dinding rumah namun tidak di hati mereka.
Ramadhan Di Tahun Politik
Betapa beruntung bangsa ini. Ramadhan datang mendinginkan tepat disuasana panas dinamika politik beberapa minggu terakhir. Dinamika Pemilu 14 Februari lalu sisa tensinya masih sangat terasa hingga detik ini. Selain proses di Mahkamah Konstitusi yang masih berjalan, para calon legislatif yang terpilih maupun yang belum memiliki kesempatan menjadi anggota dewan, mungkin tensi tekanan darah mereka sampai hari ini masih belum stabil, dimana hawa panas dan brutalnya serangan fajar disinyalir menjadi pemicu utamanya.
Jiwa yang oleng dan raga yang tak sanggup berdiri tegap, dimana tauhid vertikal dan tauhid horisontal mereka mengalami ketakseimbangan. Hasrat berkuasa dan menjabat berhasil mengaburkan keduanya, sehingga tak jarang penghambaan terhadap materi dan status jabatan sebagai identitas sosial tak mampu mereka sirkulasikan dan mentransformasikannya sebagai energi positif guna menjadi bekal lebih, disaat dia berhadapan dengan Tuhannya di akhirat kelak.
Idealnya, momentum politik Februari lalu, harus maksimal dijadikan sebagai jalan tol bagi upaya kita untuk membawa negara ini menuju kedewasaan dalam berdemokrasi. Meski ada sedikit ironi, dimana hasil perhitungan suara dari Ikhtiar antrian kita di TPS untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin negeri sempat linglung dalam perjalanannya. Penyebabnya sederhana, mesin bermerek SIREKAP nyaris mengalami mogok di tengah jalan.
“Mudik tetap menjadi upaya dari banyak orang agar tak tercerabut dari akar budayanya. Mudik juga akan menjadi awal dari kemenangan atas respiritualisasi dalam diri kita yang terjebak dalam keangkuhan peradaban modern.” Anshar Aminullah
Pemegang remote dan perancang aplikasinya pun diawal saling lempar tanggung jawab perihal siapa yang bertanggung jawab atas masalah ini. Meskipun pengakuan bersalah tetap ada, namun tak serta merta menghapus kecurigaan potensi kecurangan dari setiap proses data hasil yang di tampilkannya.
Kita juga patut bersyukur, tim sukses tetap menjaga kondusifnya pesta demokrasi ini. Tim sukses dari level RT hingga level terelit mampu menjaga agar gejala yang bisa meningkatkan tensi kekacauan bisa direduksi dengan baik. Bisa jadi timses ini juga menyadari apa yang berlangsung di momentum ini bahwa kaum elite politik itu sebenarnya sekedar sebuah gejala konversi atau proses dimana mereka sedang bergerak menuju kepatuhan pada parpol dan kekuasaan tertinggi semata selama lima tahun kedepan.
Sementara para timses ini harus bergelut kembali dengan berbagai kesulitan hidupnya, ironisnya mereka juga dihadapkan dengan bagaimana memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga, tetangga terdekat pasca perbedaan pilihan politik, sebuah problem klasik yang tetap perlu kita hikmahi bersama.
Semoga ramadhan kali ini bisa berhasil membimbing kita semua agar tidak mengumpulkan anugerah kesejahteraan dari Allah ke kantong pribadi. Akan tetapi kita justru sanggup mendistribusikan ke semua orang dengan cara yang cukup simple, yakni mengambil seperlunya dan berbagi sewajarnya. Meskipun ada juga beberapa person yang menganggap bahwa hal di atas dikecualikan pada angka 271 Triliun.
Sebuah angka fantastis yang menegaskan anekdot bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran Harvey Moeis”. Serta penegasan lainnya dimana “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Sandra Dewi”. Semoga keduanya senantiasa diberikan kekuatan lahir-bathin dalam menjalani ujian ini.
Terlepas dari polemik pasca pemilu serta angka fantastis dari dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah, kedua hal itu tak akan mampu menahan laju kerinduan orang-orang untuk bermudik, dimana saat mudik kadang menjadi semacam ruang CLBK dengan romantisme saat melewati setiap jalan dan rumah para mantan terindah dan semua yang pergi tanpa pernah bisa hatinya dimiliki.
Mudik tetap menjadi upaya dari banyak orang agar tak tercerabut dari akar budayanya. Mudik juga akan menjadi awal dari kemenangan atas respiritualisasi dalam diri kita yang terjebak dalam keangkuhan peradaban modern, dan Idul Fitri yang mengkonversinya ke titik balik ke nilai-nilai transendental dalam kalimat “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu”.
Antara Aku, Kawanku Yang Mirip Bung Hatta, dan Anggukan Ya Ya Ya!
Jelang ashar akhir pekan sore ini, saya baru tersadar bahwa hari ini bertepatan dengan tahun baru Islam 1446 Hijriah. Mendadak saya taringat dengan sahabat lama saya, dia sekarang ini berprofesi sebagai ASN dengan jabatan Kasubag.
Tak banyak berubah dari gayanya, sopan, tenang dan masih bersahaja serta dari sorot matanya masih menyisakan sedikit isyarat, kalau di masa lalu dia adalah seorang pria yang istilahnya paling sering didengang-dengungkan oleh band SO7, semacam “pejantan tangguh”.
Hampir 28 tahun berpisah sejak kami sekolah, bertemu dengan situasi penuh ketidak sengajaan. Dia masih mengingat bagaimana dulu sering mendengungkan adzan di masjid, dimana nilai-nilai itu masih dia bawa hingga sekarang sehingga praktis ibadah shalat menjadi rutinitas yang sangat wajib baginya.
Refleksi Dari Diskusi Filsafat Ilmu
Siang itu jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Saya ada di ruangan Konselin kampus UNHAS. Sebagai mahasiswa S2, saya dan teman di Pasca Sarjana Jurusan Sosiologi saat itu sedang mengerjakan tugas. Saya sedang mempersiapkan bahan diskusi . Saya senang karena dapat berdiskusi berbagi ilmu dengan berbagai kalangan dan berbagai usia tanpa batasan waktu karena dapat dilakukan di kala senggang.Mendadak ada seorang teman memecah kesunyian.
Bahwa diskusi sebentar lagi dimulai sebab ibu Dosen telah ada di luar ruangan. Bahan pun diselesaikan dengan segera. Kelompok telah terbagi dengan 3 kecenderungan, Pro, Kontra dan yang berfungsi sebagai pembanding sekaligus Juri terhadap kedua kelompok tersebut. Diluar dugaan, ternyata saat diskusi tersebut dimulai kami merasa sepertinya ada yang tidak singkron dari pola awal sesaat setelah ketua tingkat memaparkan papernya.
Ternyata sebagian besar dari kami telah keliru memahami materi diskusi tersebut. Akhirnya kamipun diberikan waktu untyuk mengevaluasi missed komunikasi tersebut. Setelah berselang beberapa lama, dengan berdiskusi mempermantap bahan tersebut dengan agak lama juga kayaknya, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Bahan untuk membuat tulisan tentang perlunya publikasi beberapa persoalan di Indonesia juga sudah cukup dari dua pihak.
Rakorwil Pemuda ICMI Sulsel, Ikhtiar Menyatukan Visi di bulan Suci
Beberapa waktu lalu melalui sebuah media berbentuk leaflet, salah satu kawan saya mengirimkan informasi kegiatan bernama rapat koordinasi wilayah sekaligus dirangkaikan dengan kegiatan Ramadhan Leadership Camp, sebuah kegiatan bernuansa ilmiah yang disajikan dalam bentuk diskusi disuasana menanti buka puasa, tepat di hari Sabtu 23 Maret oleh Pemuda ICMI Sulsel.
Sebagai bahagian dalam perjalanan sejarah organisasi ini di rentang waktu kurang lebih 16 tahun, setidaknya secara pribadi mampu memahami kultur dan bangunan spirit kelembagaan Organisasi salah satu badan otonom (Batom) Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia ini. Nuansa akademik dan ilmiah memang sangat terasa di organisasi ini. Selain karena menjadi anak kandung ICMI, juga dikarenakan hampir sebahagian besar pengurus Pemuda ICMI Sulsel dihuni oleh akademisi-akademisi muda lulusan kampus-kampus ternama di Indonesia bahkan di luar negeri.
Menjadi tantangan tersendiri memang bagi nahkoda utama organisasi ini. Trio Andi Alfian Zainuddin, Nur Riswandy Marsuki dan Ita Lestari Anwar. Tiga orang kader terbaik sejak era Masika ICMI ini, mampu berakselarasi dengan kondisi zaman, khususnya pada perubahan di era transisi dari nama Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI menjadi Pemuda ICMI.
Kemampuan mempertahankan tata nilai kelembagaan yang makin maju, makin konsisten, khususnya dalam upaya pemeliharaan moral-etika lingkup eksternal dan konsistensi ilmiah-akademik secara internal memang menjadi pekerjaan rumah yang tak gampang bagi ketiga sahabat terbaik saya ini. Namun perlahan tapi pasti hal tersebut mampu mereka buktikan.
Jumlah program dan kegiatan memang tak bisa dijadikan sebagai acuan sekaligus perbandingan dengan periodesasi sebelumnya, sebab kedua ataupun tiga periode ini berada dalam kondisi kelembagaan yang sedikit berbeda.
Jika periode terdahulu di tangan Ardiansyah S Pawinru, Erwin Saputra dan Rosnaeni Daga, dimana sebelumnya di dahului oleh kepemimpinan di periode Muhammad Ashry Sallatu, Luhur A Prianto dan Dien Triana. Di kedua masa ini suasana ilmiah-akademik dalam rangka mempertegas eksistensi saat masih bernama Masika ICMI memang cukup terasa.
Muhammad Ashry Sallatu dan Ardiansyah S Pawinru cukup berhasil membawa nama Masika ICMI Sulsel sehingga mampu diperhitungkan konsistensi dan keberhasilannya hingga level Masika ICMI Nasional. Mereka mampu berakselarasi di situasi melankolia yang hanya menjadi gaya-gaya permasalahan populer yang muncul ke permukaan koran sejarah.
Segala gagasan penciptaan karya jurnal, ide tentang nilai, gagasan seputar paradoksi, ide penyelesaian konflik, ide di kondisi ironi dalam masyarakat, ide menghadapi fatamorgana di kehidupan fana melalui spirit keagamaan, di dua zaman kepemimpinan ini mampu mewujudkannya baik dalam internal organisasi juga di dalam masyarakat.
Kondisi di atas dan sedikit suasana berbeda di era transisi kelembagaan memang menjadi hal unik, dimana Andi Alfian Zainuddin bersama segenap pengurusnya telah memperlihatkan ikhtiarnya menjaga marwah organisasi di bulan suci ini melalui kegiatan Rapat Koordinasi Wilayah dan Ramadhan Leadership Camp.
Besar harapan pasca kegiatan ini, konsistensi Pemuda ICMI Sulsel di level nasional semakin kokoh. Harus diakui satu dekade terakhir, Orwil Sulawesi Selatan memang selalu menjadi rule model hampir di seluruh Pemuda ICMI di Indonesia, khususnya pada kemampuan menghadirkan program-program inovatif dan humanis khas para cendikiawan muda di lingkup ICMI.
Selamat Ber-Rakorwil dan Berdiskusi Di RLC 2024 ini. Sebab Pemuda ICMI selalu menjadi tempat yang asyik dan rumah kembali bagi setiap person yang pernah berdinamika di dalamnya.
BENANG KUSUK HUBUNGAN KUMPUL KEBO BERUJUNG ABORSI
Awal Maret 2024, publik Sulsel dikagetkan oleh ulah dua orang sepasang kekasih yang telah melakukan kumpul lebo selama dua tahun terakhir. Hasil hubungam gelap mereka pun menjadi korban dari ketidak mauan mereka untuk melakukan pernikahan sah. Janin tersebut diaborsi oleh dukun di salah satu daerah di Kota Makassar.