Saya rasa SYL Tak Seburuk Itu!

Saya rasa SYL Tak Seburuk Itu!

Konon Pada awal abad ke-5 SM, seorang pemimpin militer, merangkap Hakim sekaligus politisi ulung dari Athena. Dia memainkan peran yang sangat strategis dalam menaklukkan Persia. Namanya Themistokles Dia dikenal karena kecerdasan dan penguasaan strategi militernya yang tak banyak orang bisa menyamainya kala itu.

Pada tahun 480 SM bersama armadanya dia berhasil menghancurkan armada kuat Persia dalam pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Salamis. Kemenangan itu menjadikan Themistocles pahlawan yang sangat dihormati.

Dia berperan besar dalam memperkuat pertahanan di kota Athena dan memperluas kekuatan angkatan lautnya. Dalam pengaruhnya sebagai Jenderal yang dihormati dan disegani, Athena menjelma menjadi kekuatan maritim yang paling dominan di Yunani.

Meskipun jasanya besar, namun tak sedikit musuh politik yang iri dan tidak senang dengan karirnya yang terus menanjak dan kepercayaan besar yang terus raja berikan kepada Themistokles. Orang-orang yang tak senang kepadanya mulai melancarkan fitnah bahwa Themistocles terlibat korupsi dan penyuapan oleh tentara lawan dari Persia.

Dengan bukti-bukti palsu dan saksi yang dimanipulasi dia juga dituduh merencanakan melawan raja.

Dan puncaknya sekitar tahun 471 SM, Themistocles dibuang dan diasingkan dari Athena. Terlepas dari berbagai pendapat dan kontroversi terhadapnya, namun yang pasti, Tanah yang selama ini dia bangun demi keamanan dan kenyamanan rakyat, telah melupakan kebaikan Themistocles hanya dalam sekejap mata.

Sekelumit kisah dari Yunani di atas menjadi gambaran singkat, bagaimana perilaku sulit mengingat kembali kebaikan dan mudah melupakan keburukan acapkali melanda tak sedikit person, dan ini sangat terasa di negeri ini beberapa dekade terakhir. Masih segar diingatan kita, bagaimana kasus video pornograpi yang menimpa salah satu artis kawakan kita. Tak butuh waktu lama, setelah bebas dia dan pemeran lainnya dalam video itu kembali dielu-elukan oleh publik, seolah tak pernah ada kejadian memalukan dimasa lalu.

Ataukah dalam kasus saat pandemi Covid-19, para dokter mendadak menjadi pahlawan yang dipuja-puji dengan kesigapan mereka dalam bertindak terhadap pasien. Namun hanya dalam hitungan hari, akibat beberapa kasus kematian yang sebelumnya menjadi kejadian biasa yang sulit tereelakkan dalam pandemi, dengan video yang beredar disertai alasan yang simpang siur kebenarannya, sekejap itu juga, para dokter dicaci-maki, dianggap sebagai monster yang bertanggung jawab atas kematian yang terjadi di pandemi ini.

Mentalitas Ingratitude

Selain karakteristik di atas, masyarakat modern di era digital sekarang ini acapkali juga terjebak pada perilaku “ingratitude”. Dimana sikap atau perilakunya cenderung menunjukkan rasa kurang penghargaan terhadap kebaikan yang diterima dari orang lain.

Ironisnya, kadang kita justru tidak menyadari bahwa rasa tidak berterima kasih itu adalah kegagalan menjaga dan melindungi pemberian yang telah diterima atau dipercayakan, dari sebuah kerja keras dan dedikasi hebat oleh orang lain, yang berdampak positif dalam banyak ruang-ruang kehidupan khalayak.

Menurut Almond (1958) masyarakat kontemporer, yang dicirikan oleh kompleksitasnya, dibentuk oleh
berbagai kepentingan sosial yang harus ada dalam sistem politik. Salah satu sample kasus pada pemberitaan terhadap kasus yang manimpa Mantan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo. Seorang birokrat sejati yang memperlihatkan tanda-tanda kejeniusan yang tak terbantahkan sejak dia menjadi Lurah di salah satu kecamatan di Sulsel 40 Tahun Silam.

Pemberitaan yang dihadirkan beberapa media nasional memang menggiring habis mindset kita, bagaimana kita tak pernah mau mengingat lagi pada bagaimana kualitas keadilan dan kebenaran
tindakannya di masa lalu, baik untuk kemaslahatan rakyat, sebagai pribadi, sebagai manusia, dan sebagai seorang kepala pemerintahan di level Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten hingga Propinsi yang pernah SYL persembahkan dengan sepenuh hati.

Kita semua paham bahwa orang-orang salehlah yang bersih dan jauh dari korupsi, kita semua mengerti pakem umum, bahwa Indikator kesalehan seseorang terletak pada bagaimana keluaran dari efek ibadahnya yang tercermin pada perilaku nyata sehari-hari.

Tapi apakah penetapan dari KPK kemudian mengubah arah cara menilai kita bahwa SYL itu jauh dari implementasi kesalehan sehingga dia melakukan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya?

Sekelumit saya paparkan apa yang diungkapkan oleh Sosiolog, Deborah Lupton (2015) yang coba saya ambil benang merah pikirannya, berkenaan dengan contoh kasus sentimen negatif media selama ini terhadap SYL.

Bahwa media berita secara tradisional menjalankan kekuatan disipliner dengan mengungkapkan dan mempermalukan orang-orang yang telah datang ke pengadilan untuk tindakan kriminal atau mendapatkan perhatian publik karena melakukan kesalahan.

Sekarang setelah banyak surat kabar menerbitkan laporan berita mereka secara digital , ada potensi kesalahan kecil, pelanggaran dan perbuatan buruk untuk dilaporkan secara online, diedarkan dari sumber aslinya dan tetap dalam format digital untuk selama-lamanya.

Begitu nama seseorang dikaitkan berkali-kali di jaringan digital dengan perilaku kriminal atau antisosial, asosiasi ini tidak mungkin diberantas.

Nama orang, ketika dimasukkan ke mesin pencari, segera dikaitkan dengan insiden yang menarik perhatian media sosial, bahkan jika itu terjadi bertahun-tahun sebelumnya atau mereka diidentifikasi karena kesalahan. Kecerobohan sosial kecil juga telah diperkuat oleh peredaran dengan mempermalukannya lewat tindakan penghinaan melalui media sosial.

Tak Ada Kebaikan Tersisa

Pemberitaan negatif terhadap SYL seolah-olah merupakan segala-galanya dari fakta yang sesungguhnya terjadi. Isi beritanya seolah-olah menasbihkan setiap kalimatnya menjadi pusat nilai, pusat setiap dorongan, pusat dari segala sumber kevalidan dan kebenaran dari apa yang dilakukan SYL selama ini.

(Video Highlight Tema SYL dan catatan Hikmah)

Satu-satunya upaya SYL untuk melawan stigma yang dibentuk oleh berita itu hanyalah beberapa kalimat sederhana “kita hadapi dengan lapang dada”, selebihnya diam menjadi pilihan karena bisa jadi SYL mafhum bahwa ending peristiwa ini tetap menjadi urusan dia dengan Tuhannya di akhirat kelak.

Kita bisa saja menjadikan isi berita itu sebagai rujukan. Namun sebagai generasi yang masih memiliki daya kritis, serta kualitas daya gugat dalam upaya merubah kehidupan, kita tak boleh berpihak pada kebebasan komentar berbau negatif dan peghakiman yang dilakukan para nitizen, khususnya pada kecenderungan stigma sosial yang dibentuk dari sentimen negatif media terhadap SYL.

Hardiknas, Menghardik Apatisme kita Bagi Nasib Guru Honorer

Hardiknas, Menghardik Apatisme kita Bagi Nasib Guru Honorer

Percaya atau tidak, Amat sedikit bangsa di muka bumi ini bisa sehebat
bangsa kita. Entah itu dalam hal kualitas Sumber Daya Manusia, karakter individu ataupun
kemampuan leadershipnya. Tokoh-tokoh bangsa kita ini mampu memahami banyak hal.

Seandainya di muka bumi ini sedang butuh presiden dan wakil presiden, menteri, politikus, aktivis, wartawan, ustaz, budayawan, ekonom, pemerhati sosial, pemerhati budaya, bankir beserta komisaris dan direkturnya, Indonesia memilikinya stok melimpah yang mampu mengisi posisi di atas.

Hampir di semua bidang kita potensial untuk mengungguli bangsa lain. Kecuali ketika hal itu sudah dikondisikan oleh wasit utama dan wasit VAR, bisa dipastikan kita akan keok lebih awal seperti yang mendera timnas U23 kita beberapa waktu lalu.

Dan hanya peristiwa kekalahan Timnas U23 kita ini yang mampu menyatukan semua profesi dan jabatan di atas, itulah uniknya bangsa kita ini. Dua hari terakhir ini memang tema sepakbola dan wasit masih hangat untuk diperbincangkan, dan pada akhirnya tema pilpres 2024 pun mereda.

Disela hari yang cukup menyerap emosi tersebut, tepat di tanggal 2 Mei ini, hari pendidikan nasional hadir dengan temanya yang masih seputar pada salah satu program andalan bapak menteri Pendidikan kita, Merdeka Belajar. Tema yang dalam kalimat lengkapnya “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Sebuah ajakan yang penuh optimisme khususnya bagi para tenaga pengajar di seluruh penjuru negeri.

Ironi Honorer

Dalam pendekatan sosiologis, sekolah sebagai contoh regionalisasi ruang-waktu dan lokasi
tertentu, karena sekolah menekankan jenis rutinitas sosial tertentu. Sebagai institusi yang terpisah dari waktu dan interaksi sehari-hari, sekolah sebagai bentuk organisasi sosial mendistribusikan pertemuan melintasi ruang dan waktu, melakukan regionalisasi secara internal, dan memiliki konteks khusus untuk wilayah tersebut.

Mengutip pendapat dari Giddens (1998), bahwa Sekolah harus mengembangkan penghematan waktu yang tepat agar efektif. Selain itu, kontrol guru ditunjukkan dalam pentingnya postur tubuh dan jarak di dalam kelas.

Sekolah bukan sekadar institusi disipliner yang dalam pengertian Foucaul dikatakan bahwa oleh karena otoritasnya didasarkan pada kapasitas refleksif figur otoritas dan siswa. Guru harus memastikan rutinitas diikuti, dan memerlukan keterampilan interaktif untuk melakukan pengawasan dan sekuestrasi pengalaman.

Coba saja lakukan proses internalisasi lalu lanjutkan ke proses eksternalisasi, makankita akan merasakan, bahwa secara teoritik, para guru, siswa dan sekolah kita sebahagian besar telah memenuhi standarisasi dari apa yang kedua tokoh sosiologi itu ungkapkan. Kurang cerdas apalagi para tenaga pengajar kita dan produk keluarannya?

“Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.”

Anshar Aminullah

Namun hal yang ironis justru tetap terjadi, di beberapa tahun terakhir, tetap saja kita disibukkan dengan hal yang terus menerus dan seolah tak ada habisnya, yakni persoalan di dunia pendidikan kita berbentuk pertanyaan klasik yang berulang dan berulang lagi. Menyangkut nasib guru honorer dengan status P untuk kategori P1, P2, dan P3 pada seleksi PPPK guru di tahun mendatang. Apakah guru honorer status P pada seleksi PPPK guru selanjutnya sudah bisa diangkat jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di tahun-tahun depan?

Cukup memprihatinkan memang, potensi luar biasa para guru honorer kita sepertinya harus pasrah karena belum didukung oleh struktur sosial-politik, budaya yang melingkupi mereka terutama yang berada di pelosok yang jauh dari jangkauan sinyal 4G bahkan siaran Televisi digital.

Guru honorer P1, P2 dan P3 saat baru memperoleh kode P saja, itu telah mensinyalkan bahwa mereka besar kemungkinan tidak lulus, dan para guru honorer dipastikan tidak akan mendapat penempatan di sekolah. Ini menjadi ironi disaat ada realita yang berbanding terbalik dengan pengabdian mereka yang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun yang sudah dilakukan oleh para saudara kita para guru honorer ini.

Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.

Semoga mampu mengangkat derajat para guru honorer kita baik secara status adminitratif di BKN maupun secara ekonomi. Sehingga pada akhirnya, para guru honorer kita menjadi lebih segar. Dan kecemerlangan akal dan intelektualitas mereka akan tegak dan menyinari dunia pendidikan kita dengan melahirkan generasi-generasi hebat dengan kemampuan “di depan memberi teladan, di tengah memberi inspirasi, di belakang memberi dorongan yang memerdekakan dan sarat faedah”.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!