Zaman bergerak begitu cepat. algoritma mengambil peran tak nyata dalam mengatur siklus aktivitas manusia. Kehidupan kita telah banyak dikendalikan oleh algoritma ini.
Bagaimana pengemudi dan penumpang dipertemukan, bagaimana pembeli dan penjual bertransaksi tanpa pernah bertemu langsung, bagaimana seorang laki-laki dan perempuan dipertemukan menjadi pasangan kekasih bahkan menjadi pasangan ilegal walau salah satunya adalah korban filter kamera.
Bahkan bagaimana minat seorang calon mahasiswa dipertemukan dengan kampus tanpa harus berlelah ria berkunjung langsung ke lokasi kampusnya. Semua dalam satu kerja algoritma dalam sebuah aplikasi.
Saat memikirkan perihal kekuatan algoritma, maka kita perlu memikirkan tidak hanya tentang dampak dan konsekuensi kode digital semata, kita juga perlu memikirkan kiat yang ampuh di mana gagasan bagaimana algoritma itu sendiri bisa bersirkulasi di dunia pendidikan khususnya pada pengembangan aplikasi yang terintegrasi untuk kepentingan ummat.
Bagaimana algoritma bertransformasi sekarang ini? Nyaris tanpa terasa semuanya telah bermigrasi dalam satu gengaman bernama smartphone atau tablet. Antrian panjang, uang elektronik, Ojek tak lagi dipadang sebagai pekerjaan kelas bawah, keren malah.
Semuanya berubah. Tanda tangan tak lagi butuh pena, barcode telah menyingkirkannya dari ribet menjadi terlihat simple namun rumit untuk dijiplak.
Kartu mahasiswa tak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal, yang sekali satu semester menjadi pekerjaan tambahan untuk dipress ulang di tempat fotocopy.
Dia telah berevolusi sebagai alat bayar, alat identitas buat bertransaksi dibanyak tempat dan berbagai macam fungsi ganda.
Alat scan telah tergusur sebahagian besar fungsinya oleh smartphone. Sekali jepret save dan jadilah dia file tipe PDF, dia tak lagi harus berurusan dengan alat sebesar dos mie instant untuk memindainya.
Jam tangan tak hanya sebagai penunjuk waktu semata, dia telah menggusur sebahagian kerja dokter untuk melihat kondisi kesehatan beberapa organ tubuh manusia.
Namun ada hal yang miris terkadang masih kita dapati. Yakni masih adanya kampus yang tetap mempromosikan kampusnya dengan menggunakan brosur kertas yang diprint out berwarna ala kadarnya.
Promosi lewat baliho ukuran menengah yang ikut nimbrung ditengah alat peraga para politisi-politisi parpol. Spanduk kampus ini juga turut meramaikan sudut-sudut kota dan desa sebagai bentuk promosi mereka persis dengan cara mereka 20 tahun silam.
Sepertinya mereka cukup nyaman berada dalam promosi era 80-90an. ironisnya ini terjadi disaat berbagai media sosial membuka lebar-lebar peluang untuk beriklsn yang bisa menyasar jutaan orang hanya dalam sekali klik, justru tak sedikit kampus lebih memilih berpanas-panas ria dengan pola promosi konvensional yang justru jauh lebih mahal.
Pola administrasi kemahasiswaan pun masih tertatih-tatih menyesuaikan dengan sistem di Dikti. Beberapa dosen uzur yang masih gemetar memegang mouse saat menginput datanya, nilai dan skripsi yang masih harus membuat staf fakultas berjibaku mencari arsip saat dibutuhkan disaat yang lain sudah beralih ke Cloud atau Gdrive.
Ini adalah fakta yang secara langsung memperlihatkan bagaimana mereka membuka ruang bagi anak millenial menertawai ketertinggalan mereka terhadap kemajuan teknologi.
Tak perlu jauh membahas Artificial Intellingence, kita mungkin masih butuh waktu lama untuk sampai kesana. Karena masih ada yang memilih bertahan dengan pola klasik dan beromantisme akan bagaimana ampuhnya cara klasik tersebut dimasa silam.
Berubah Atau Punah
Kampus seyogyanya tak bijak jika hanya memilih sebagai user sejati atas kemajuan teknologi. Mereka juga harus menjadi pengembang dalam menghadirkan teknologi terbaru. Tak mudah memang, namun mau tak mau mereka harus begerak kearah sana.
“Jika dunia pendidikan kita masih punya niatan kuat untuk membawa Indonesia ke panggung peradaban dunia, maka pilihan terhadap digitalalisasi bagi dunia kampus itu hanya dua, segera berbenah atau ’punah’”.
Anshar Aminullah
Fenomena merosotnya “sense of humanity“ para mahasiswa yang lambat laun akan sangat berdampak khususnya pada tingkat kepekaan mereka terhadap sesama, sehingga terasa wajib bagi kampus agar konsisten menjadi ruang mengasah moralitas dan integritas. Para dosen harus segera berakselarasi dengan zaman.
Kemajuan teknologi tak boleh membuat mereka keteteran. Mereka tak boleh tertinggal oleh kecepatan informasi khususnya pada riset-riset terbaru. Jika itu terjadi, ini akan berpotensi besar bagi mereka menjadi bulan-bulanan zaman, kehilangan kualitas, dan pada akhirnya kampus tersebut tak akan bisa melahirkan alumni dengan SDM yang mumpuni.
Dari fakta diatas semestinya membuat dunia kampus yang gagap teknologi mau tak mau harus ‘menceburkan’ dirinya dengan ikhlas menghadapi berbagai kemudahan sekaligus tantangan di era digital.
Dunia kampus harus berakselarasi di abad komunikasi massa ini. Saat komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak.
Mengutip pandangan Manuel Castells bahwa teknologi komunikasi muktahir telah menciptakan apa yang disebut dengan “publik dunia”, dan dalam Masyarakat Digital itu adalah revolusi terhadap sebuah perubahan masyarakat di dunia nyata.
Bahwa manusia tidak pernah puas hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang yang sempit.
Sifat membebaskan diri yang ada pada manusia terbukti dari gagasannya menciptakan bagian kehidupan baru untuk manusia, yaitu masyarakat digital.
Tanpa kita sadari, alarm keras akan ‘kepunahan’ bagi kampus yang tak segera berbenah mengikuti kemajuan zaman sedang berbunyi, khususnya bagi mereka yang masih asyik dengan gagap teknologinya.
Dan jika dunia pendidikan kita masih punya niatan kuat untuk membawa Indonesia ke panggung peradaban dunia, maka pilihan terhadap digitalalisasi bagi dunia kampus itu hanya dua, segera berbenah atau ’punah’
Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Alarm ‘Kepunahan’ Kampus Gaptek di Zona Nyaman,
https://makassar.tribunnews.com/2022/12/14/alarm-kepunahan-kampus-gaptek-di-zona-nyaman.