Sepertinya sebentar lagi kita akan menikmati layanan Kereta Api di Kota Makassar yang mempermudah perjalanan kita lintas Kabupaten dalam waktu yang lebih cepat dari biasanya. Ini terlihat lewat ramainya dua orang petinggi di Sulsel dan Kota Makassar sedang mempersoalkan at-grade atau elevated.
Ini menandakan bahwa Pete-pete semakin mendekati masa sakratul mautnya. Tapi perlu diingat, seandainya pun KA ini hadir di tengah-tengah kita, rasa-rasanya dia butuh waktu yang lama untuk menghapus kenangan dan romantisme angkutan kota legendaris ini. Pak Gubernur dan Pak Walikota tak salah jika berhikmat pada filosofi pete-pete.
Misalnya, mau di manapun posisi duduknya, selalu ada yang mau mengalah untuk memberi ruang, karena semua hanya berorientasi sampai ditujuan dengan selamat. Dan semuanya kompak dengan satu bahasa yang disepakati, “kiri dallekang” untuk menghentikan laju daeng sopir.
Pelajaran lain di angkot lawas ini, Pak Gubernur dan Pak Walikota tak perlu terlalu terpengaruh suasana panas disekitarnya, tetap saja fokus pada tujuan, seperti halnya daeng Sopir pete-pete, walaupun panas tak jadi soal, yang penting alunan lagu
Dangdut “kala kupandang kerlip bintang yang jauh di sana” masih setia menemani beberapa kali trip hingga selesainya masa kejar setoran.
Pemkot dan pemprov pasti tahu, bahwa salah satu aspek yang sangat penting dalam mencapai tujuan pembangunan KA ini adalah memasukkan orientasi-orientasi sosial dalam setiap kebijakan pembangunannya. Bahwa tujuan dihadirkannya Kereta Api grade atau elevated ini adalah berorientasi bagaimana bisa mempermulus jalan rakyat menuju sejahtera.
Keduanya meski berhitung pada efektivitas yang menunjuk pada kemungkinan bahwa KA ini akan menghasilkan manfaat-manfaat yang dapat mengurangi problem masyarakat perkotaan khususnya dari kemacetan ataupun kesemrawutan kendaraan yang kadang parkir di bahu jalan seharian.
Hadirnya KA ini juga nantinya tetap mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi atau akibat yang mungkin timbul, bahwa itu telah melalui perhitungan yang matang. Sebab jangan sampai nantinya terjadi penggusuran secara massif untuk pengembangan area KA ini, dan itu justru menghadirkan turunan persoalan sosial yang baru, mulai dari tingkat kriminalitas yang terus meningkat serta gelandangan di sudut-sudut kota yang terus bertambah.
Masyarakat kita pun sebaiknya harus lebih aktif dalam mengawasi rencana kebijakan dalam pembangunan KA ini. Pengawasan secara tak langsung sangat penting. Kritik dan saran adalah salah satu bentuknya yang paling efektif. Meskipun pada akhirnya itu hanya mampu mempengaruhi untuk ukuran dan batas tertentu.
Karena sehebat apapun hal yang dirancang oleh Pemprov dan Pemkot namun tak ada yang mengkritik atau memberi saran khususnya pada soal terjebaknya diperdebatan apakah di langit atau di bumi KA ini nanti, kekuatiran juga mungkin akan muncul, jangan-jangan tetap akan kocar kacir juga, bahkan bisa jadi ujung-ujungnya berakhir mangkrak proyek besar ini.
Mungkin tidak ada salahnya apa yang ditulis oleh Edi Suharto tentang analisis stake holder dengan metode Sang Pangeran milik Machiavelli diuji coba oleh para pemikir disekitar mereka berdua. Metode ini merupakan cara meramalkan atau mengidentifikasi dukungan dan penentangan (oposisi) dari berbagai individu, kelompok dan organisasi-organisasi publik dalam pengambilan keputusan publik.
Mulai dari identifikasi para pemain, menentukan posisi isyu, menentukan kekuasaan, menentukan prioritas dan terakhir adalah memperhitungkan kemungkinan diterimanya dan dimplimentasikan kebijakan tersebut. Analisis ini bisa jadi akan memberikan banyak dampak positif dalam pelaksanaan proyek ini. Ini sekedar saran saja, walau terkesan semacam menggarami laut.
Pembangunan KA ini kita harapkan bisa tuntas hingga dinikmati oleh masyarakat kita. Sebab ini persoalan wibawa dan citra Pemprov dan pemkot dalam jangka panjang. Jangan sampai rencana mega proyek ini lagi-lagi adalah prank yang disajikan secara berulang-ulang. Apatahlagi Masa pemerintahan keduanya pun sisa setahun lebih jelang masuknya Pelaksana Tugas hingga usai pemilihan umum serentak 2024.
Kebijakan keduanya itu akan menjadi pondasi yang kuat dalam menyelesaikan tahapan pembangunan hingga penggunaan fasilitas ini secara resmi, dimana saat itu juga telah hadir sarana transportasi yang nyaman, mudah, efisien dan terjangkau untuk semua kalangan.
Besar harapan kita lahirnya kekompakan pada konsep dan implementasi ide mereka berdua. Apa yang dilahirkan harus matang untuk urusan yang tak main-main ini. Penggunaan uang rakyat yang tetap akan menanti untuk dipertanggung jawabkan di yaumil akhir.
Tak ada salahnya untuk menghentikan perdebatan ini, hati-hati lho!
Saya kuatir bukan kebencian yang akan lahir dari ujung debat kedua top leader Provinsi dan Kota ini. Apatah lagi mereka berdua dalam hal kesungguhan membangun daerah sangat memiliki kemiripan. Kata orang tua dulu kalo mirip itu berarti sejodoh. Jangan-jangan justru benih cinta yang akan membuat mereka sejodoh di pilgub 2024 nanti. Eyak… Eyak…. Eyak…..!
Artikel ini telah tayang lebih awal di Tribun-Timur.com dengan judul Mewaspadai ‘Jodoh’ Dalam Debat Rel Kereta di Langit atau Bumi Makassar: Please Deh,