Perceraian adalah hal unik dalam pendekatan sistem religi, dibolehkan agama namun dibenci oleh Allah. Perceraian ini selain sebagai solusi juga sebagai jalan darurat jika sebuah ikatan suami-istri sudah sulit dipertahankan. Fenomena tingginya angka perceraian di kabupaten Gowa selama pandemi memang menjadi hal yang mengundang rasa prihatin kita.
Dalam pendekatan Perubahan Sosial, Seiring kemajuan jaman, terjadi perubahan makna dan pergeseran nilai serta makna sebuah perkawinan, perkawinan terkadang hanya sebagai sebuah proses akad Namun ruang-ruang privat baik suami maupun sang istri kadang terbuka bagi orang luar khususnya melalui media sosial. Facebook, Instagram dan Whatsapp menjadi media terbaik buat menjejaki ruang privat mereka.
Komitmen bersama menjalani berbagai tekanan kehidupan termasuk tekanan ekonomi tak begitu kuat sehingga terjangan efek pandemi membuatnya rapuh bahkan terlepas total yang berujung pada perceraian.
Namun perlu juga ditelusuri lebih mendalam kondisi real penyebab perceraian tersebut. Masyarakat Gowa itu adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai kesakralan sebuah pernikahan. Maka tak salah jika kita mempertanyakan apakah yang bercerai ini adalah masyarakat asli Gowa atau hanya kebetulan berdomisili di Gowa. Ini tentu berefek pada stigma perempuan-perempuan dari Kabupaten Gowa, sekaligus menjadi pelajaran berharga tentunya.
Efek pasca perceraian ini juga akan sangat memprihatinkan pada generasi mendatang, mengingat dari setiap pasangan tersebut tentu memiliki anak-anak yang akan sangat terganggu psikologisnya dalam jangka panjang.
komentar ini telah dimuat di:
https://www.alur.id/ada-734-janda-baru-pasca-pandemi-di-gowa-ini-kata-sosiolog