Hari ini bangsa kita merefresh kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dengan memperingati hari lahir Pancasila. Momen bersejarah di 1 Juni ini terasa agak sulit meneguhkannya secara kilat kepada para Interisti di Indonesia yang sedang patah hati.
Upaya meneguhkan semangat berbangsa fans Tim Nerazzurri sektor depan layar TV dalam seharian ini adalah sesuatu yang tak mudah, dari 5 gol ke 5 Sila, tetap saja endingnya mereka bakal susah move on pada kemenangan dramatis timnya ke Barcelona yang tak mampu mereka ulang di dinihari tadi.
Oh iya, masih ingat dengan kisah perang Troya?
Saat patung kuda Troya sebagai strategi tipuan oleh pasukan yang terdiri dari terdiri dari gabungan kerajaan-kerajaan Yunani kuno, kerajaan Sparta, Mycena, Ithaca dan kerajaan Salamis. Mereka menyerang kerajaan Troya yang juga disebut Ilion atau Ilium, sebuah kerajaan besar terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Turki barat laut.
Tim PSG menang lewat strategi, dan Inter Milan kalah tanpa perlawanan berarti. Mirip seperti kota Troya yang saat itu jatuh bukan karena kekuatan serangan, tapi karena tipuan tak terlihat melalui patung kuda troya.
Paris Saint-Germain melakukan sesuatu yang mirip dengan “kuda Troya”. Beberapa taktik awalnya terlihat bermain seperti possession biasa, namun justru itu mampu menarik Inter Milan lebih tinggi ke tengah, memancingnya keluar dari zona nyaman pertahanannya.
Dan ketika Inter Milan mencoba melakukan pressing, PSG secara sengaja dan cepat mengalirkan bola melalui lini belakang mereka, lalu dalam satu momen, memecah struktur Inter Milan melalui umpan vertikal cepat ke celah antarlini.
Hampir semua gol-gol dari PSG terjadi karena Inter Milan tertarik oleh gerakan palsu (false run) dari gelandang PSG, lalu memberi kejutan pertahanan Inter saat pemain sayap atau fullbacknya berlari secara diagonal.
Dan hasilnya terlihat langsung di subuh hari tadi. Bagaimana pendukung PSG bersorak gembira menyaksikan Luis Enrique mengangkat tropi dengan Timnya, dan pendukung Inter Milan nyaris tanpa senyum tertunduk lesu dari lokasi nobar menuju masjid menunaikan sholat subuh.
Mungkin saja dalam shalat subuhnya mereka berdoa, semoga tahun depan Inter Milan sudah bisa juara UCL dan PSM Makassar sudah memiliki stadion baru pengganti Mattoangin.
Plus sebelum mengusap muka dengan kalimat amin, ada doa semoga dalam waktu dekat sudah ada solusi alternatif pemerintah Kota terhadap 164 orang pengangguran baru eks pegawai PDAM Makassar yang tidak lagi diperpanjang kontraknya.
Amnesia Di Spirit Sila
Semangat Pancasila dalam kehidupan berbangsa kita terasa masih tetap luhur, meski itu secara simbolik. Namun tanpa sadar kita acap kali terseret ‘tipuan’ audio-visual, budaya luar yang kita konsumsi melalui informasi melimpah di dunia maya lewat layar yang berbicara.
Ini berdampak pada melemahnya penerapan esensi sila-silanya secara ideologis dalam berbangsa dan bernegara.
Demikian juga dengan proses berdemokrasi kita yang hampir sama dengan tim Paris Saint-Germain. Bedanya cuma sedikit, mereka mempertegas visi tim dengan sibuk cetak gol, sementara politisi kita mempertegas visi personal dengan sibuk cetak spanduk.
PSG menghajar 5 gol nyaris tanpa ampun, sementara tak sedikit elit politik kita di 5 Sila nyaris tanpa tindakan. Inter bukan dikalahkan, tapi terjebak secara kolektif.
Dan beberapa Caleg serta Calon Kepala Daerah kita di 2024 lalu, mereka bukan kalah di pemilihan, tapi ‘terjebak’ perasaan dan strategi kompetitor, yang berakibat kemenangan mereka tertunda di 14 Februari dan 27 November lalu secara ‘kolektif’.
Trofi Nyata Ijazah Masih Rahasia
Perjalanan panjang PSG menuju juara UCL tidaklah mudah. Klub liga Perancis ini lebih muda 25 tahun 2 bulan 11 hari dari lahirnya Pancasila. Publik di Kota Saint-Germain-en-Laye, dekat Kota Paris sekarang ini pasti ribut oleh suara terompet dan ledakan kembang api mengiringi pesta kemenangan mereka.
“Semangat Persatuan Indonesia ini mesti didahulukan. Bukankah dulu Bung Karno sangat serius saat membuat konsep Pancasila ini. Jangan justru para politisi kita malah terjebak membuat sandiwara politik”.
Anshar Aminullah
Sementara di Indonesia masih meriah karena ribut-ribut dengan persoalan asli atau palsunya sebuah lembar Ijazah.
Menariknya kedua Presidennya beberapa hari lalu baru saja bertemu dalam suasana yang cukup bersahabat, adem, mengisyarakatkan sebuah kekompakan serta ikatan kerjasama jangka panjang.
Sama seperti kerjasama dan kekompakan di alam lain bernama dunia maya, dimana para konten kreator digital kita yang masih terus berlomba mengejar centang biru dan sibuk membikin konten demi sejumlar dollar yang di janji oleh Facebook.
Walau modal konten kadang lebih besar dari tranfer dollar Meta, namun itu tak menyurutkan semangat kreator digital kita yang setiap hari memenuhi beranda dengan sapaan “salam interaksi” ataupun menandai semua pertemanannya dengan kode “Sorotan”.
Terlepas dari ramainya pesta juara baru UCL, dan semangat pantang menyerah para kreator digital kita, mungkin sudah saatnya kita kembali meretrospeksi diri bahwa di 1 Juni tahun ini kita lebih “Memperkokoh Ideologi Pancasila, Menuju Indonesia Raya”.
Semangat Persatuan Indonesia ini mesti didahulukan. Bukankah dulu Bung Karno sangat serius saat membuat konsep Pancasila ini. Jangan justru para politisi kita malah terjebak membuat sandiwara politik.
Di momentum 1 Juni ini pula, jika 5 gol PSG berhasil membawanya ke tangga juara, maka 5 Sila juga harus mampu membawa Indonesia menjadi yang terdepan dalam banyak prestasi di mata dunia.
Dan yang paling utama adalah para elit kita juga harus mampu mengantarkan rakyat sampai di realitas sila Ke 5, dengan menghadirkan suasana Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tulisan ini juga telah terbit lebih awal di media :
https://makassar.tribunnews.com/2025/06/01/1-juni-pancasila-tetap-luhur-walau-inter-milan-amburadul