Masih ingat dengan Atlantis? Dunia yang hilang yang diungkap dalam karya Timaeus dan Critias milik filsuf Yunani, Plato. Sebuah peradaban agung yang Tenggelam Karena Kesombongan dan Eksploitasi.
Atlantis ini adalah kerajaan yang sangat maju, kaya, dan makmur, tapi kemudian menjadi sombong, serakah, dan tidak adil. Dikisahkan, mereka mengeksploitasi alam dan kekuasaan, hingga akhirnya dewa-dewa murka dan menenggelamkan seluruh negeri ke dasar laut.
Lalu peradaban hilang karena bencana alam besar, dan inilah yang diduga sebagai penyebab kehancuran Atlantis.
Menariknya, dua orang peneliti kenamaan mempertegas, bahwa Atlantis yang selama ini dianggap mitos, itu keberadaannya justru ada di Indonesia. Adalah Arysio Nunes dos Santos
Peneliti asal Brasil dengan Bukunya “Atlantis: The Lost Continent Finally Found — The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” (2005).
Lalu karyanya dikembangkan oleh Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – ahli geologi senior dengan Karyanya “Plato Never Lied: Atlantis is in Indonesia” (2020), yang dalam Versi Indonesia: “Atlantis Nusantara: Menguak Misteri Peradaban Manusia Purba yang Hilang”.
Mereka menggambarkan Atlantis sebagai negeri dengan banyak emas, perak, Nikel, Batubara, Minyak Bumi, rempah, dan tanah yang subur, hampir semuanya sangat cocok dengan karakteristik Indonesia.
Dengan melihat potensi kekayaan di perut buminya, serta keindahan alam yang dimilikinya, jangan-jangan Raja Ampat ini adalah serpihan tersisa dari dunia yang hilang bernama Atlantis, dan kepingan puzzle dari gambaran warisan mitos Plato yang masih tersisa di bumi nusantara ini?
Tafsir Alat Berat Atas ‘Ayat’ Alam
Bumi nusantara kita ini adalah sebuah semesta dari manifestasi ayat-ayat kebesaran Tuhan dalam bentuk “Kauniyah”. Nusantara ini juga menjadi wujud peradaban Austronesia yang mencerminkan ketangguhan yang prima para pelakunya dari masa ke masa, seperti yang tersurat dalam berbagai catatan prasasti.
Kita mafhum, bahwa pengolahan anugerah kekayaan alam seyogyanya menggunakan penafsiraan yang benar terhadap regulasi yang ada dengan tetap mengedepankan semangat Pasal 33 ayat 3 di UUD 1945. Bahwa sumber daya alam di Raja Ampat itu harus tetap dikelola dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat, dan negara wajib mengambil peran strategis dalam mengatur dan mengawasi pemanfaatannya. Bukan memberi peran alat-alat berat yang justru menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Kita jangan sampai merampas secara sembunyi-sembunyi kekayaan alam yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Itu tetap mudarat bawaannya, baik secara dunia dan juga mudarat juga secara akhirat,
Dan dosa seseorang yang menggarap kekayaan alam secara berlebih, dalam sistem sosial era kita sekarang ini, tetap memiliki keterkaitan ke berbagai garis historisitas. Bahwa perbuatannya itu akan selalu berhubungan dengan kondisi-kondisi makro-eksternal di lingkungannya.
Keindahan Raja Ampat ini tak boleh hilang dan berubah dari ‘surga’ dunia dengan segala pesona alamnya, lalu mendadak berubah dengan memunculkan dari dalam tanah ‘neraka’ berupa kerusakan ekologis secara massif. Dan hari ini, tengoklah pemberitaan dan postingan di berbagai media sosial, yakni perlahan namun pasti, keramahan alamnya mulai menghilang saat para penambang datang membawa izin IUP hingga 2033, yang oleh banyak orang diprediksi tepat disaat itu, keindahan dan keramahan alam raja ampat telah tutup usia.
Merefresh catatan Paradoks Indonesia
Ada ketidak adilan ekonomi yang dapat memicu konflik sosial. Presiden ke 8 kita melihat Indonesia masih ada harapan. Kekayaan alam yang luar biasa, dengan managemen yang tepat, kita bisa cepat bangkit. Demikian yang didengungkan dalam buku Paradoks Indonesia (2017), Prabowo Subianto yang kini menjabat Presiden RI.
“Raja Ampat ini adalah ‘Syurga’ yang indah dan telah diberikan secara gratis oleh Tuhan kepada Indonesia. Raja Ampat adalah bait puisi Tuhan yang tak boleh kita robek demi tambang”.
Anshar Aminullah
Dalam sejarah modern, telah meletakkan manusia dalam bentuk perhubungan yang lebih sistemik, kohesif satu sama lain, multirelated, sehingga salah benar dan baik buruk lebih bersifat kolektif dibanding individual.
Itulah sebabnya, yang telah membubuhkan tanda tangan ijin dengan mengedepankan keuntungan pribadi diatas kesejahteraan rakyat sekitar, akan tetap menjadi kesalahan kolektif jika pemimpin berikutnya tak mencoba mencegah dengan sepenuh hati, dan hanya mencegah dengan cara selemah-lemahnya iman yakni dengan cukup membencinya.
Untunglah izin 4 perusahaan penambang di Kabupaten Raja Ampat itu telah dicabut Presiden Prabowo. Ini patut kita apresiasi positif. Penegasan posisinya sebagai pemimpin di “Wa Ulil Amri Minkum” telah menjadi wujud kesalehan politiknya sekaligus kesalehan terhadap upaya merawat ayat-ayat Kauniyah tanda kebesaran Allah di bumi ini.
Presiden Prabowo Subianto telah menyegarkan kembali spirit perjuangan dan cita-citanya untuk bangsa seperti yang tertuang dalam catatannya di Paradoks Indonesia.
Prabowo Subianto menyebut Atlantis ini dalam catatannya di Paradoks Indonesia, sebagai simbol harapan dan kebangkitan guna menggugah kesadaran anak bangsa.
Dan Presiden Prabowo perlahan namun pasti mampu menginplementasikan gagasan dan spirit ide Plato dalam Timaeus dan Critias dengan menggunakan gagasan penyebab kejatuhan sebuah peradaban sebagai upaya menggugah kesadaran kolektif kita, dan menekankan bahwa peradaban apapun dan dimanapun bisa runtuh jika dia kehilangan nilai moral, keadilan.
Raja Ampat ini adalah ‘Syurga’ yang indah dan telah diberikan secara gratis oleh Tuhan kepada Indonesia. Raja Ampat adalah bait puisi Tuhan yang tak boleh kita robek demi tambang.
Jika kita tak mampu menjaganya secara langsung, minimal jangan ikut merusaknya dengan sengaja menutup mata atas ‘kegilaan’ para penambang ini. Cukuplah Timnas Jepang yang berhasil merusak pertahanan dan merobek-merobek-merobek-merobek-merobek-merobek jala gawang Timnas kita tanpa ampun.
Artikel ini juga telah terbit lebih awal di media :
https://herald.id/2025/06/10/keindahan-raja-ampat-lukisan-tuhan-yang-dicoreti-tinta-kontrak/