Bagaimana fenomena makanan kekinian mencerminkan dinamika sosial dan budaya di kota sekarang, pertanyaan ini cukup penting, oleh karena tak sedikit diantara kita yang tanpa sadar sedikit abai akan dampaknya pada sekitar kita.
Makanan kekinian memang cukup mempengaruhi budaya anak muda kita dalam mengkonsumsi. Viral selalu menjadi alasan terkuat untuk memilihnya. Menentukan berlanjut tidaknya untuk selalu dikonsumsi tetap kembali tergantung pada citarasa mereka setelah mencobanya.
Disisi lain upaya mendukung UMKM tetap terlihat sangat bagus, ini terlihat dengan aktifnya para reviewer (Vlogger & Youtuber) masakan di usaha para pemilik UMKM, dimana mereka turut mempromosikan secara positif masakan atau minuman tersebut.Makanan dengan citarasa lokal masih tetap bisa survive diantara serbuan makanan dan minuman kekinian.
Ini menjadi hal positif dari upaya tetap mempertahankan identitas lokal dan budaya bagi generasi kita, dengan tetap menjadikan makanan dan minuman lokal sebagai pilihan yang tidak kalah bagus dan menyehatkan diantara pilihan makanan kekinian mulai dari yang kebarat-baratan, ala-ala Korea dan Jepan, juga terkhusus Chinese Food yang sudah mulai membaur menjadi masakan yang identik dengan selera lokal kita.
Lantas seperti apa kemudian kita melihat hubungan antara konsumsi makanan dan identitas sosial warga di Kota-kota besar saat ini?
Pertama, tak hanya remaja dan anak-anak. Para orang tua pun masih kadang tergiring dengan kondisi psikis bahwa mereka berada pada kelas sosial berbeda jika mereka makan dan minum di tempat-tempat bermenu mahal. Sehingga warung-warung pinggir jalan hanya menjadi pilihan jika kondisi tak ada pilihan lain.
Di beberapa tempat tetap saja masih ada persepsi bahwa warung ini juga acapkali dianggap sebagai pilihan tempat makan kelas menegah ke bawah.
Yang kedua, Tingkat kesibukan yang tinggi dan keterbatasan waktu banyak untuk bergelut dengan alat-alat masak dan bahan bumbu-bumbu di dapur, menjadikan makanan cepat saji dan order makanan dan minuman lewan aplikasi online menjadi alternatif utama.
Memang terlihat bahwa persoalan lapar bisa teratasi dengan bisa segera hadir tanpa ribet memasak, namun ini akan berdampak pada sisi ikatan emosional yang akan semakin berkurang oleh karena buatan tangan melalui masak sendiri di rumah itu sudah sulit untuk dinikmati dalam sebuah rumah dan keluarga.
“Beberapa perusahaan yang mendukung Eco-Friendly Awareness Campaign (Kampanye Kesadaran Ramah Lingkungan) juga masih terlihat setengah hati, dan faktor personal juga yang hanya terkesan ikut-ikutan trend peduli lingkungan bukan niatan total menjadikannya sebagai gaya hidup sesungguhnya”.
Anshar Aminullah
Dan sebagai catatan tambahan khususnya berkenaan dengan isu lingkungan yang secara signifikan telah mempengaruhi pilihan konsumsi masyarakat urban, dimana di beberapa tempat di kota-kota besar di Indonesia, memang terlihat banyak produk yang dianggap ramah lingkungan.
Kampanye-kampanye sadar lingkungan oleh beberapa kelompok LSM ataupun komunitas peduli lingkungan cukup aktif di berbagai media, baik media online maupun media sosial. Pengaruhnya memang ada, misalkan saja beberapa orang tidak hanya menjadikan sebagai personal branding, tapi juga sebagai citra sosialnya dalam circle pergaulannya.
Penggunaan bahan-bahan organik pada tempat minuman dan makanan memang cukup giat diwacanakan, dan dibeberapa tempat sudah mulai digiatkan.
Namun tetap saja beberapa persoalan yang sedikit menghambat pengimplementasian bahan ramah lingkungan ini. Selain harga bahan organiknya yang sedikit lebih mahal dari bahan plastik, beberapa perusahaan yang mendukung Eco-Friendly Awareness Campaign (Kampanye Kesadaran Ramah Lingkungan) juga masih terlihat setengah hati, dan faktor personal juga yang hanya terkesan ikut-ikutan trend peduli lingkungan bukan niatan total menjadikannya sebagai gaya hidup sesungguhnya.
Beberapa poin dari pembahasan di atas juga telah diliput lebih awal di media :