Rebut kekuasaan Politik dan Jangan membiasakan menjadikan sejarah kebesaran masa lalu untuk memetakan dan menavigasi generasi masa kini, karna bisa jadi mereka justru tersesat pada sebuah fatamorgana kekuasan tak berdaerah.
Berangkat dari sebuah pengkonstruksian ruang tindakan abstrak didalam batasan-batasan yang bisa merangkul pihak penikmat pendekatan berbeda pada sebuah kasus di salah satu Kabupaten di Sulsel ini . Peter L Berger didalam Pyramids Of Sacrifice (1974) tetang Piramida Raksasa di sebuah kota kecil bernama Cholula di negara bagian Puebla di Meksiko yang merupakan salah satu diantara pusat-pusat pemujaan terpenting di Meksiko bagian tengah.
Bagian terpenting dari cerita ini adalah silih bergantinya penguasa mulai dari abad ketiga sesudah masehi. Dimasa dinasti Teotihuacan Kota Cholula disulap menjadi sebuah kota yang tak sepi dari penghuni. Diabad ke 9 datanglah bangsa Olmec dari selatan menaklukkan Meksiko Tengah dan menjadikan Kota Cholula sebagai pusat negara mereka.
Kemudian bangsa Toltec menyerbu dari Utara dan menjadikan Kota Cholula sebagai pusat pemujaan Quetzalcoatl, Dewa naga berbulu yang merupakan dewa paling haus darah dalam sejarah agama-agama yang pernah dianut manusia. lalu dilanjutkan dengan datangnya bangsa Aztec menguasai Cholula dan menjadikannya kota suci tempat berziarah.
Kisah Piramida raksasa di Cholula ini dimaknai sebagai paradigma yang bersifat kiasan untuk hubungan siklus variatif perlakuan terhadap daerah kekuasaan disetiap era penguasanya, bahwa disetiap pemimpin memiliki karakteristik tersendiri dalam memberikan sentuhan artistik baik dalam bentuk fisik maupun non fisik diwilayah kekuasaannya untuk membuat sebuah tatanan “peradaban baru”.
Mendorong “Peradaban” Baru
Beberapa bulan terakhir kita disuguhi berita di berbagai media perihal kontroversi sebuah produk aturan bernama Lembaga Adat Daerah (LAD). Konten-konten ini mengarahkan konsentrasi eksklusif masyarakat terhadap konteks diatas. Tak sedikit kritik dan gejolak lahir terhadap persoalan Lembaga Adat Daerah di Kabupaten Gowa. Mulai dari skala lokal, regional sampai ditingkat nasional.
Kritik ataupun pembelaan kuat dari masing-masing pihak akan konsep LAD kesemuanya masuk akal. Upaya nomotetik baik dalam perspektif idiografis dari pemerintah daerah Kabupaten Gowa selalu saja mendapatkan tanggapan beragam. Namun bagi penulis, konsep LAD ini sepertinya adalah upaya pemahaman ulang tentang nilai-nilai warisan masa lalu yang secara defenitif merupakan penyeleksian terhadap realitas menuju sebuah “peradaban” baru di Kabupaten Gowa.
Bisa jadi, kriteria-kriteria dan kategori-kategori pendekatan konsep tersebut didasarkan pada generalisasi yang tak pernah dikenal umum yang pada akhirnya menjadi sebuah dilema logis yang sulit diurai oleh sebagian kalangan dengan potensi SDM yang cenderung masih terbatas.
Tesis Peter L Berger diatas mungkin sedikit relevan dengan sebuah kejadian yang cukup kontroversi di Kabupaten Gowa. Dalam kaitan ini adalah berguna untuk diingat bahwa, paling tidak didalam apa yang disebut peradaban maju dan baru , kebijakan-kebijakan pada umumnya adalah hasil karya para teoritisi profesional – yakni, oleh sejenis orang dewasa ini kita sebut kaum intelektual.
Bahwa sejarah tidak hanya merupakan pergantian tata susunan kekuasaan, tetapi juga pergantian kerangka-kerangka kebijakan, dan setiap kerangka kebijakan lebih dulu ada orang yang memikirkannya.
Kekuasaan Politik Masa Kini dan Masa Lalu
Kontroversi ini semakin tajam ketika dua pihak disisi yang berlainan mencoba meyakinkan publik perihal kekuasaan yang berbasis justifikasi kemenangan politik legal versus kekuasaan berbasis garis keturunan. Pada prinsipnya menurut kami bahwa keduanya tidaklah salah, sebab dalam keyakinan kami bahwa tak satupun di kedua pihak yang mencoba memperlihatkan ambisi kekuasaan dan pamer kekuatan politik.
Kedua pihak ini justru telah mempertegas keinginan tulus dan ikhlas mereka dalam memberikan sebuah pengabdian terbaik di Kabupaten yang penuh dengan sejarah gemilang dimasa lalu itu. Namun setidaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi digaris bawahi dari konten berpolemik ini. Pertama, bahwa Karakteristik Politik masa kini sangatlah berbeda dengan politik masa lalu.
Lembaga Adat Daerah ini tak soal jadi kontroversi sebab begitulah realitas pada sebuah kebijakan baru. Terlepas dari dinamika pro-kontra yang muncul akhir-akhir ini, mesti disadari bahwa kebijakan tak boleh dikritik berlebih dengan alasan melukai hati nurani rakyat, sebab secara bersamaan tak sedikit rakyat di Kabupaten tersebut juga menanti sebuah perubahan dari Produk bernama Lembaga Adat Daerah ini.
Anshar Aminullah
Penentuan kekuasaan suatu daerah sudah ditentukan berdasarkan konsep berdemokrasi Modern melalui Pemilihan Langsung, sehingga praktis siapapun punya kesempatan yang sama untuk duduk sebagai pemimpin tertinggi dipemerintahan suatu daerah. Kedua, bahwa Trah garis keturunan tertentu juga tidak boleh serta merta terabaikan namun mestinya mereka tetap sadar konteks bahwa kebijakan tertinggi tetap ada pada pemegang kekuasaan resmi yang dalam hal ini Bupati.
Pembentukan sebuah produk bernama LAD ini seyogyanya adalah sebuah pembentukan tatanan baru yang diharapkan lebih mampu menjawab tantangan zaman hari ini, esok dan yang akan datang. Tatanan yang dimaksudkan adalah yang diikuti sebuah subsistem tindakan menyelamatkan sebuah nilai-nilai masa lalu dan mengakselarasikannya dengan aturan sekarang ini.
Hal tersebut sesungguhnya adalah sebuah inovasi dari pemegang kekuasaan legal hasil pilkada yang memang perlu diapresiasi positif bukan mencoba terjebak pada sebuah pemikiran bahwa inovasi tersebut adalah sebuah agenda pembumi hangusan trah keturunan tertentu pasca kekalahan pada momen politik.
Lembaga Adat ini juga diharapkan sebagai penegasan karakteristik kepribadian kebudayaan masa lalu yang dimodifikasi berdasarkan kondisi zaman sekarang ini. Dimana modifikasi tersebut tetap tak kehilangan Identitas Kultural yang kokoh. Identitas Kultural pada Lembaga Adat harus bisa meretas nuansa Feodalisme didalamnya. Untuk menghindarkan terjadinya retrogradasi pada identitas Kultural pada produk ini, maka Legalitas dan Moralitas sangat dibutuhkan.
Legalitas adalah tindakan mematuhi aturan, Moralitas Tindakan berdasarkan rasa hormat karna peraturan. Jika legalitas menuntut ketaatan, maka Moralitas membutuhkan orang-orang yang sadar akan tanggung jawabnya. Untuk mencegah legalitas membawa kembali ummat manusia pada perbudakan, maka legalitas harus dibangun diatas landasan kesadaran moral yang kuat.
Lembaga Adat Daerah ini tak soal jadi kontroversi sebab begitulah realitas pada sebuah kebijakan baru. Terlepas dari dinamika pro-kontra yang muncul akhir-akhir ini, mesti disadari bahwa kebijakan tak boleh dikritik berlebih dengan alasan melukai hati nurani rakyat, sebab secara bersamaan tak sedikit rakyat di Kabupaten tersebut juga menanti sebuah perubahan dari Produk bernama Lembaga Adat Daerah ini.
Selebihnya mari kita tetap berprasangka positif bahwa LAD ini adalah sebuah upaya secara bertahap untuk mengembalikan spirit nilai kejayaan sejarah dan menghayati kembali warisan nilai politik masa lalu dalam rangka mengukuhkan Kabupaten Gowa di panggung sejarah “peradaban” dunia.
Artikel ini juga sebelumnya telah terbit di media cetak tribun Timur 1 Oktober 2016 :