Bagaimana jika Gen Z kita di 10 tahun mendatang ketika mengalami keterasingan sosial dan emosional, disaat mereka terpapar tanpa batas karena kehadiran game online dan teknologi digital?
Sherry Turkle, sosiolog sekaligus psikolog dari MIT, telah memberikan pandangan yang cukup kritis tentang dampak teknologi, termasuk game online dalam bukunya Alone Together (2011)
Dalam tulisannya, Turkle mengungkapkan, bahwa jika anak muda acapkali lebih memilih berinteraksi dengan dunia virtual karena mereka merasa lebih nyaman sekaligus memiliki kendali lebih besar atas identitas mereka.
(Insert Dokumentasi Dialog Pancasila dalam rangka Hari kesaktian Pancasila 1/10/2024 di Kab. Wajo)
Dan faktanya pada generasi kita sekarang ini, tak sedikit yang justru terjebak dalam siklus adiktif yang pada akhirnya membuat mereka menarik diri dari kehidupan sosial dan kehidupan nyata.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, angka user game online di Indonesia, terkhusus rentang usia remaja, tergolong sangat tinggi. Dalam paparan data ditahun 2022 saja (katadata.co.id) di Indonesia, menjadi negara dengan jumlah pemain video game online terbanyak ketiga di dunia. Sebanyak 94,5% pengguna internet di Indonesia yang berusia 16-64. Mayoritas pengguna dari game online ini berasal dari generasi muda, yakni di rentang usia 16-34 tahun.
Terlepas dari plus-minus permainan game online ini, tentu kita tetap harus menggaris bawahi hasil riset dari Sherry Turkle pada perkembangan mentalitas dan moralitas generasi kita.
Pudarnya Spirit Pancasila
Kita bisa menyepakati, bahwa kemajuan teknologi itu sendiri, yang seyogyanya bertanggung jawab guna membebaskan manusia dari perbudakan pekerjaan di berbagai bidang di negeri ini.
Dan sebagaimana kita catat dalam kenangan history bangsa ini, kita merajut disain secara ideal bagaimana generasi milenial maupun Gen Z dari evolusi sosio-ekonomi negeri ini, terkhusus bagaimana mereka berdinamika dalam kemajuan teknologi, tidak hanya menjadi user atau followers, namun harus menjadi penemu atau pencetus ide awal sebuah gagasan dan penemuan besar.
“Ironisnya, generasi ini justru seolah nyaris lupa pada nilai-nilai yang baik untuk perkembangan otak dan emosional mereka yang sedang berproses membangun identitas dan hubungan sosial.” Anshar Aminullah
Harus kita akui, generasi Milenial apatahlagi Gen Z, mereka punya referensi yang jauh lebih banyak dibanding Gen X khususnya bagaimana Pancasila yang tak kalah sakti pasca kemampuan eksistensinya teruji dalam sejarah kelam Gestapu.
Mereka juga mungkin jauh lebih tahu, bagaimana peristiwa di kesaktian Pancasila ini, secara tak Langsung mengajarkan keseimbangan antara keterlibatan di dunia digital dan interaksi di dunia nyata.
Namun ironisnya, generasi ini justru seolah nyaris lupa pada nilai-nilai yang baik untuk perkembangan otak dan emosional mereka yang sedang berproses membangun identitas dan hubungan sosial.
Generasi saat ini sepertinya telah kehilangan dukungan pada diri mereka, apa yang diistilahkan oleh Cak Nun, berupa “Teknologi Internal”. Yakni suatu inisiatif mental, yang didukung oleh aktivitas emosi dan sentuhan intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan setting, pengolahan, eksplorasi atau maintenance mental di dalam personalitinya.
Tiga Penguatan
Ada tiga hal yang bisa dijadikan alternatif penguatan bagi generasi kita di tengah keterlanjuran bergelut dalam era adu kesaktian dan kehebatan di Mobile Legend dan PUBG ini.
Ketiga gagasan yang diadobsi dari pikiran Jalaluddin Rahmat ini yakni, pertama, penguatan pola Compromiser atau kompromis. Dimana generasi milenial ataun Gen Z ini harus mampu bekerja dari dalam konflik yang melibatkan gagasan atau posisi.
Ide ini mungkin menawarkan pola kerja berupa kompromi dengan merendah serta mengakui kekeliruan dan mendisiplin diri untuk mempertahankan harmoni kelompok. Dengan kata lain, memilih sikap alternatif atau jalan tengah dalam menghadapi berbagai kelompok.
Kedua, penguatan gaya Gatekeeper dan expediter atau dalam istilah lain di analogikan seperti pola kerja seorang penjaga gawang, dimana dia berusaha membuka saluran komunikasi dengan mendorong partisipasi yang lain. Salah satu diksi yang bisa menjadi pilihan “Kita belum mendengar pendapat rekan/ bapak”.
Atau dengan memberikan tawaran aturan adab berkomunikasi dengan pilihan contoh diksi : “Sebaiknya kita membatasi lamanya pembicaan sehingga setiap orang punya kesempatan untuk memberikan kontribusinya”.
Ketiga, Penguatan karakter Elaborator atau dengan menjabarkan saran-saran dengan contoh-contoh atau dengan makna yang lebih luas, memberikan das rasional dari saran yang sudah dibuat, serta berupaya mengumpulkan berbagai konsekuensi dari gagasan atau saran apabila itu diambil sebagai pilihan di dalam sebuah kelompok.
Ketiga penguatan hal sederhana ini kita harapkan bisa menjadi sebuah perekat kembali terhadap spirit pancasila di momentum hari kesaktian pancasila ini.
Setidaknya ketiga hal di atas bisa menjadi proses penyegaran pikiran generasi kita, dan bisa mengukuhkan kembali konsistensi mereka dalam ikhtiar menanam kembali pasca tercerabutnya mereka dari akar budayanya karena pengaruh ‘saktinya’ para jagoan-jagoan di game online.
Artikel ini juga telah tayang di :
Juga telah terbit cetak di Tribun Timur rabu, 2 Oktober 2024