Hardiknas, Menghardik Apatisme kita Bagi Nasib Guru Honorer

4 minutes reading
Friday, 3 May 2024 02:52 0 1327 Anshar Aminullah
 

Percaya atau tidak, Amat sedikit bangsa di muka bumi ini bisa sehebat
bangsa kita. Entah itu dalam hal kualitas Sumber Daya Manusia, karakter individu ataupun
kemampuan leadershipnya. Tokoh-tokoh bangsa kita ini mampu memahami banyak hal.

Seandainya di muka bumi ini sedang butuh presiden dan wakil presiden, menteri, politikus, aktivis, wartawan, ustaz, budayawan, ekonom, pemerhati sosial, pemerhati budaya, bankir beserta komisaris dan direkturnya, Indonesia memilikinya stok melimpah yang mampu mengisi posisi di atas.

Hampir di semua bidang kita potensial untuk mengungguli bangsa lain. Kecuali ketika hal itu sudah dikondisikan oleh wasit utama dan wasit VAR, bisa dipastikan kita akan keok lebih awal seperti yang mendera timnas U23 kita beberapa waktu lalu.

Dan hanya peristiwa kekalahan Timnas U23 kita ini yang mampu menyatukan semua profesi dan jabatan di atas, itulah uniknya bangsa kita ini. Dua hari terakhir ini memang tema sepakbola dan wasit masih hangat untuk diperbincangkan, dan pada akhirnya tema pilpres 2024 pun mereda.

Disela hari yang cukup menyerap emosi tersebut, tepat di tanggal 2 Mei ini, hari pendidikan nasional hadir dengan temanya yang masih seputar pada salah satu program andalan bapak menteri Pendidikan kita, Merdeka Belajar. Tema yang dalam kalimat lengkapnya “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Sebuah ajakan yang penuh optimisme khususnya bagi para tenaga pengajar di seluruh penjuru negeri.

Ironi Honorer

Dalam pendekatan sosiologis, sekolah sebagai contoh regionalisasi ruang-waktu dan lokasi
tertentu, karena sekolah menekankan jenis rutinitas sosial tertentu. Sebagai institusi yang terpisah dari waktu dan interaksi sehari-hari, sekolah sebagai bentuk organisasi sosial mendistribusikan pertemuan melintasi ruang dan waktu, melakukan regionalisasi secara internal, dan memiliki konteks khusus untuk wilayah tersebut.

Mengutip pendapat dari Giddens (1998), bahwa Sekolah harus mengembangkan penghematan waktu yang tepat agar efektif. Selain itu, kontrol guru ditunjukkan dalam pentingnya postur tubuh dan jarak di dalam kelas.

Sekolah bukan sekadar institusi disipliner yang dalam pengertian Foucaul dikatakan bahwa oleh karena otoritasnya didasarkan pada kapasitas refleksif figur otoritas dan siswa. Guru harus memastikan rutinitas diikuti, dan memerlukan keterampilan interaktif untuk melakukan pengawasan dan sekuestrasi pengalaman.

Coba saja lakukan proses internalisasi lalu lanjutkan ke proses eksternalisasi, makankita akan merasakan, bahwa secara teoritik, para guru, siswa dan sekolah kita sebahagian besar telah memenuhi standarisasi dari apa yang kedua tokoh sosiologi itu ungkapkan. Kurang cerdas apalagi para tenaga pengajar kita dan produk keluarannya?

“Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.”

Anshar Aminullah

Namun hal yang ironis justru tetap terjadi, di beberapa tahun terakhir, tetap saja kita disibukkan dengan hal yang terus menerus dan seolah tak ada habisnya, yakni persoalan di dunia pendidikan kita berbentuk pertanyaan klasik yang berulang dan berulang lagi. Menyangkut nasib guru honorer dengan status P untuk kategori P1, P2, dan P3 pada seleksi PPPK guru di tahun mendatang. Apakah guru honorer status P pada seleksi PPPK guru selanjutnya sudah bisa diangkat jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di tahun-tahun depan?

Cukup memprihatinkan memang, potensi luar biasa para guru honorer kita sepertinya harus pasrah karena belum didukung oleh struktur sosial-politik, budaya yang melingkupi mereka terutama yang berada di pelosok yang jauh dari jangkauan sinyal 4G bahkan siaran Televisi digital.

Guru honorer P1, P2 dan P3 saat baru memperoleh kode P saja, itu telah mensinyalkan bahwa mereka besar kemungkinan tidak lulus, dan para guru honorer dipastikan tidak akan mendapat penempatan di sekolah. Ini menjadi ironi disaat ada realita yang berbanding terbalik dengan pengabdian mereka yang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun yang sudah dilakukan oleh para saudara kita para guru honorer ini.

Ini tentang upaya menggugah kepedulian. Ini soal mengusir apatisme kita terhadap minim pedulinya kita bersuara soal nasib mereka. Dan ini tentang harapan terhadap pemimpin negara ini yang baru saja terpilih.

Semoga mampu mengangkat derajat para guru honorer kita baik secara status adminitratif di BKN maupun secara ekonomi. Sehingga pada akhirnya, para guru honorer kita menjadi lebih segar. Dan kecemerlangan akal dan intelektualitas mereka akan tegak dan menyinari dunia pendidikan kita dengan melahirkan generasi-generasi hebat dengan kemampuan “di depan memberi teladan, di tengah memberi inspirasi, di belakang memberi dorongan yang memerdekakan dan sarat faedah”.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Artikel ini juga telah ditayangkan lebih awal di :

https://herald.id/2024/05/02/hardiknas-menghardik-apatisme-kita-bagi-nasib-guru-honorer/