Jelang ashar akhir pekan sore ini, saya baru tersadar bahwa hari ini bertepatan dengan tahun baru Islam 1446 Hijriah. Mendadak saya taringat dengan sahabat lama saya, dia sekarang ini berprofesi sebagai ASN dengan jabatan Kasubag.
Tak banyak berubah dari gayanya, sopan, tenang dan masih bersahaja serta dari sorot matanya masih menyisakan sedikit isyarat, kalau di masa lalu dia adalah seorang pria yang istilahnya paling sering didengang-dengungkan oleh band SO7, semacam “pejantan tangguh”.
Hampir 28 tahun berpisah sejak kami sekolah, bertemu dengan situasi penuh ketidak sengajaan. Dia masih mengingat bagaimana dulu sering mendengungkan adzan di masjid, dimana nilai-nilai itu masih dia bawa hingga sekarang sehingga praktis ibadah shalat menjadi rutinitas yang sangat wajib baginya.
Dua minggu yang lalu dia mengirimkan sebuah gambar orang bersepeda santai di kota dan petani yang bersepeda di kampung. Kami bersepakat, bahwa beberapa tahun terakhir bersepeda telah menjadi gaya hidup yang cukup trend dikalangan kelas menengah dan kelas atas.
Bagaimana tidak, sepeda mereka bisa seharga Avanza second. Bahkan untuk merk Brompton pun bisa setara harga mobil Xenia terbaru, dan alhasil pemiliknya pun terkategorisasi sebagai person dengan kelas sosial tersendiri.
Teman lama saya ini kadang merasa heran dengan situasi ini, namun di lain sisi dia juga masih memiliki keinginan ikut tren ini. Menurutnya, dulu dia naik sepeda karena keterbatasan finansial. Sementara teman-temannya sudah pada naik motor.
Akhirnya diapun jual sepeda dan mencoba membeli motor bekas. Teman-temannya bahkan sudah mengupgrade kendaraannya ke mobil. Sementara dia berupaya mengumpulkan uang untuk membeli mobil, mendadak trend bersepeda muncul, anehnya teman-temannya justru diantaranya jual mobil untuk kembali membeli sepeda dengan mengongkosinya spare part yang bernilai fantastis.
Teman lama saya di remaja masjid ini pun tetap konsisten dengan motor miliknya. Dia tak lagi membahas perihal sepeda beberapa minggu terakhir ini. Dia seolah menyembunyikan hasrat dan keinginan menggebu-gebunya yang bukan lagi membeli sepeda mahal. Karena dia tahu itu masih sulit dibanding dengan bertemu lewat perantara saya dengan cinta pertamanya yang telah menjadi seorang Professor.
Tapi sudahlah, cinta pertamanya mungkin telah mampu menghabiskan kuota internetnya dalam sehari. Tak ada yang tahu, seberapa sering dia menstalking IG dan Facebook wanita yang telah membuatnya menarik duit puluhan ribu rupiah di rekening adiknya 29 tahun lalu, hanya demi mentraktir sang pujaan hatinya.
Saat derai hujan membasahi kota Malino malam diawal Juni 2024, dia begitu banyak berkisah tentang masa lalunya dan bagaimana dia berpisah dengan wanita cantik yang sekarang bergelar Professor itu. Agar dia menikmati setiap alur kisah yang dia urai, sedari awal saya lebih memilik banyak menyimak sambil sesekali mengucapkan Ya Ya dan Ya.
Makin deras hujan makin kencang pula dia berkisah. Sepertinya dia mengisyaratkan bahwa ada hal yang tak tuntas di masa lalu antara dia dengan sang pujaan hatinya itu. Dalam benak saya pun berbisik, bahwa benarlah memang apa yang katakan oleh mendiang Ahyar Anwar, bahwa:
“Hujan yang mesra itu seperti berbisik, Perpisahan bukanlah sebuah kehilangan yang pantas untuk sebuah kesedihan yang sederhana pun! Kehilangan yang pantas untuk sebuah kesedihan yang besar adalah rindu yang hilang dalam malam, sementara cinta masih menari pada hujan!”.