Beberapa hari ini ada dua trend status Whatsapp, Facebook dan Instagram yang banyak menghiasi halaman media sosial, pertama mudik dan yang kedua macet. Setiap person mengabarkan aktivitas mudiknya tak lain dan tak bukan, sesungguhnya mereka sedang mengungkapkan kesetiaannya pada tuntutan jiwanya untuk bertemu, dan mengakrabkan kembali dengan asal usulnya.
Dalam pendekatan kultur dan perilaku sebagai makhluk sosial beserta sistem tata nilai yang disusun pada kolektivitas kehidupan kita, mudik seolah menjadi perjalanan spiritual untuk bereuni dengan kolega, keluarga serta para handai taulan di sebuah tempat terindah penuh sejarah bernama kampung halaman.
Bahkan, sekhilaf-khilafnya seseorang, dimana dia mungkin memandang dunia ini sebagai tujuan, dan seluruh aktivitas personalnya termasuk dalam hal dukung mendukung calon legislatif, bahkan calon Presiden, orang tersebut dapat dipastikan akan berupaya maksimal agar tetap memiliki keterkaitan dengan Idul fitri yang kemudian dipertegas dengan ikut bermudik.
Salah satu hal yang membuat kita ikut terharu, dimana puasa tahun ini tak sedikit oknum pejabat menjadi alim dan begitu khusuk dalam beribadah. Tasbih mereka untuk wiridan cukup aktif berputar, putaran tasbihnya semakin kencang saat beriringan dengan ingatan bahwa namanya masuk dalam daftar buruan KPK dan Kejaksaan. Sebuah ironi memang.
Tuhan menjadi tempat kembali saat mereka terdesak oleh kondisi, disaat nikmat harta bergelimang dan nikmat jabatan Tuhan hanya menjadi perhiasan kaligrafi di dinding rumah namun tidak di hati mereka.
Ramadhan Di Tahun Politik
Betapa beruntung bangsa ini. Ramadhan datang mendinginkan tepat disuasana panas dinamika politik beberapa minggu terakhir. Dinamika Pemilu 14 Februari lalu sisa tensinya masih sangat terasa hingga detik ini. Selain proses di Mahkamah Konstitusi yang masih berjalan, para calon legislatif yang terpilih maupun yang belum memiliki kesempatan menjadi anggota dewan, mungkin tensi tekanan darah mereka sampai hari ini masih belum stabil, dimana hawa panas dan brutalnya serangan fajar disinyalir menjadi pemicu utamanya.
Jiwa yang oleng dan raga yang tak sanggup berdiri tegap, dimana tauhid vertikal dan tauhid horisontal mereka mengalami ketakseimbangan. Hasrat berkuasa dan menjabat berhasil mengaburkan keduanya, sehingga tak jarang penghambaan terhadap materi dan status jabatan sebagai identitas sosial tak mampu mereka sirkulasikan dan mentransformasikannya sebagai energi positif guna menjadi bekal lebih, disaat dia berhadapan dengan Tuhannya di akhirat kelak.
Idealnya, momentum politik Februari lalu, harus maksimal dijadikan sebagai jalan tol bagi upaya kita untuk membawa negara ini menuju kedewasaan dalam berdemokrasi. Meski ada sedikit ironi, dimana hasil perhitungan suara dari Ikhtiar antrian kita di TPS untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin negeri sempat linglung dalam perjalanannya. Penyebabnya sederhana, mesin bermerek SIREKAP nyaris mengalami mogok di tengah jalan.
“Mudik tetap menjadi upaya dari banyak orang agar tak tercerabut dari akar budayanya. Mudik juga akan menjadi awal dari kemenangan atas respiritualisasi dalam diri kita yang terjebak dalam keangkuhan peradaban modern.” Anshar Aminullah
Pemegang remote dan perancang aplikasinya pun diawal saling lempar tanggung jawab perihal siapa yang bertanggung jawab atas masalah ini. Meskipun pengakuan bersalah tetap ada, namun tak serta merta menghapus kecurigaan potensi kecurangan dari setiap proses data hasil yang di tampilkannya.
Kita juga patut bersyukur, tim sukses tetap menjaga kondusifnya pesta demokrasi ini. Tim sukses dari level RT hingga level terelit mampu menjaga agar gejala yang bisa meningkatkan tensi kekacauan bisa direduksi dengan baik. Bisa jadi timses ini juga menyadari apa yang berlangsung di momentum ini bahwa kaum elite politik itu sebenarnya sekedar sebuah gejala konversi atau proses dimana mereka sedang bergerak menuju kepatuhan pada parpol dan kekuasaan tertinggi semata selama lima tahun kedepan.
Sementara para timses ini harus bergelut kembali dengan berbagai kesulitan hidupnya, ironisnya mereka juga dihadapkan dengan bagaimana memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga, tetangga terdekat pasca perbedaan pilihan politik, sebuah problem klasik yang tetap perlu kita hikmahi bersama.
Semoga ramadhan kali ini bisa berhasil membimbing kita semua agar tidak mengumpulkan anugerah kesejahteraan dari Allah ke kantong pribadi. Akan tetapi kita justru sanggup mendistribusikan ke semua orang dengan cara yang cukup simple, yakni mengambil seperlunya dan berbagi sewajarnya. Meskipun ada juga beberapa person yang menganggap bahwa hal di atas dikecualikan pada angka 271 Triliun.
Sebuah angka fantastis yang menegaskan anekdot bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran Harvey Moeis”. Serta penegasan lainnya dimana “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Sandra Dewi”. Semoga keduanya senantiasa diberikan kekuatan lahir-bathin dalam menjalani ujian ini.
Terlepas dari polemik pasca pemilu serta angka fantastis dari dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah, kedua hal itu tak akan mampu menahan laju kerinduan orang-orang untuk bermudik, dimana saat mudik kadang menjadi semacam ruang CLBK dengan romantisme saat melewati setiap jalan dan rumah para mantan terindah dan semua yang pergi tanpa pernah bisa hatinya dimiliki.
Mudik tetap menjadi upaya dari banyak orang agar tak tercerabut dari akar budayanya. Mudik juga akan menjadi awal dari kemenangan atas respiritualisasi dalam diri kita yang terjebak dalam keangkuhan peradaban modern, dan Idul Fitri yang mengkonversinya ke titik balik ke nilai-nilai transendental dalam kalimat “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu”.
Artikel ini juga telah tayang lebih awal di :
https://makassar.tribunnews.com/2024/04/04/mudik-reuni-pasca-pemilu-dan-clbk-dihari-yang-fitri