“Keseragaman”, Bekas Kado Buruk di 79 Tahun RI?

3 minutes reading
Friday, 16 Aug 2024 06:16 0 1320 Anshar Aminullah
 

Semenjak 18 orang adik-adik perwakilan di Paskibraka diminta melepas Jilbabnya dengan dalih “Keseragaman”, mendadak secara pribadi saya seolah amnesia terhadap masa lalu mantan Rektor salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri terbesar di Indonesia ini.

Pun demikian lupa terhadap usulannya mengganti Assalamu Alaikum dengan Salam Pancasila, pelarangan menggunakan cadar di kampus, termasuk pernyataannya bahwa musuh besar Pancasila adalah agama. Saat disebutkan nama Pak YW yang teringat hanya lirik lagu dari Sal Priadi
“Sepertinya kau memang dari planet yang lain
Dikirim ke bumi untuk…..”

Para pengibar bendera pusaka ini seolah dipaksa untuk melepaskan ‘jalannya ke surga’ dikewajiban menutup auratnya lewat jilbab. Dan hal ini akan memberikan keguncangan yang dalam pendekatan Sigmund Freud disebut “pengalaman traumatik”, dimana dari eksistensinya akan tetap membekas padanya seumur hidup. Meskipun mereka ada dalam ruang dan kelompok orang berprestasi dan terpilih bernama Paskibraka tingkat Nasional.

Di negeri ini mungkin sedang dilanda situasi dimana sedang terjadi suatu kondisi ideologi kita ‘berhenti sejenak’ diimplementasikan oleh mayoritas warganya. Ditambah lagi kehadiran BPIP sendiri, yang seolah sedang mengungkapkan sebuah krisis di dalam struktur sosial kita, dan menganggap ada makna yang hilang terhadap pemahaman ideologi bangsanya sendiri.

Ataukan jangan-jangan ada oknum-oknum di BPIP sendiri, yang justru gagal dalam mengimplementasikan Pancasila yang murni akibat pengaruh kekuatiran kehilangan posisi dan Jabatan?

Dari beberapa pemberitaan terakhir, oknum di internal BPIP nampak kesulitan menempatkan posisi pancasila terhadap Agama di Indonesia. Bahkan secara gamblang Kepala BPIP dalam sebuah wawancara resmi mengatakan agama adalah musuh besar Pancasila. Pernyataan ini justru semakin meningkatkan tensi antara beberapa kelompok dan tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan melawan BPIP.

“Sepertinya diperlukan BPIP dan rakyat kecil seperti kita yang ada di luar kekuasaan, perlu duduk bersama sehingga tidak terjadi kekeliru mengimplementasikannya dalam kehidupan, serta tak terjadi kekeliruan dengan memaksakan pancasila dan agama sebagai dua hal yang saling bermusuhan.”

                                       Anshar Aminullah

Statemen ini melipatgandakan keyakinan bangsa ini kedepan akan mengarah pada krisis moral, krisis intelektual dan krisis kepercayaan. Bahkan pernyataan tersebut tanpa rasa tabu dengan menghilangkan rasa sakrallitas simbol jilbab bagi banyak pemeluknya, ditambah penegasan dengan mempolarisasi agama dan pancasila untuk saling berhadapan mengarah saling menghabisi. Padahal di masa lalu melalui jejak-jejak digitalnya, atribut-atribut agama lah yang telah membuatnya berada di posisi strategis di kampus ternama.

Ataukah mungkin, penyeragaman yang dimaksudkan adalah bahwa jilbab yang mereka gunakan ini semacam keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional, dan yang kurang teliti yang diolah dalam pikiran para adik-adik kita, lalu YW membandingkan dengan ideologi Pancasila, dimana dalam proses membandingkannya beliau justru tidak sadar sedang berada pada definisinya yang kurang tepat.

Meskipun BPIP pada akhirnya mengijinkan penggunaan jilbab di puncak HUT RI di IKN 17 Agustus nanti, pernyataan “Keseragaman” ini tetap akan membekas sebagai kebijakan yang pernah melukai hati orang banyak.
Dan agar kebijakan “keseragaman” ini tak menjadi bekas kado buruk di 79 tahun Indonesia merdeka, mungkin sepertinya diperlukan BPIP dan rakyat kecil seperti kita yang ada di luar kekuasaan, perlu duduk bersama sehingga tidak terjadi kekeliru mengimplementasikannya dalam kehidupan, serta tak terjadi kekeliruan dengan memaksakan pancasila dan agama sebagai dua hal yang saling bermusuhan.

Jangan sampai generasi di masa depan akan kesulitan mencari posisi yang tepat, antara kebenaran yang tersirat dan tersurat pada Pancasila dan UUD 1945 dan posisi Kebenaran kolektif serta kebenaran tertinggi sejati pada sang Maha Kuasa. Wallahu A’lam.