Dunia sedang menuju sebuah era baru. Mark Zuckerberg dengan perusahaan Meta-nya makin giat mempromosikan era baru dalam dunia digital ini. Satu bentuk pengalaman baru yang semua orang bisa menjelejahinya dimanapun dia berada. Dengan kata lain, mau tak mau kita membutuhkan cara-cara baru untuk menjadikan masuk akal dunia yang ditransformasi ini.
Kehadiran market place milik Meta kedepan akan melahirkan kebiasaan berbelanja baru, dimana akan ada fenomena tergila-gila dengan konsumsi yang intens dan kontinyu yang kita dapati pada masyarakat sekitar. Nantinya kebiasaan ini menghasilkan stratifikasi bentuk baru. Diantaranya, yang berbelanja produk mahal adalah orang-orang melek digital dengan kemampuan finansial lebih, sementara yang sama sekali jadi penonton adalah masyarakat gagap teknologi dengan keadaan ekonomi memprihatinkan.
Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial lebih, dia akan selalu ikut tenggelam di dalam kebiasaan berbelanja online di dunia virtual, pola konsumtif yang menawarkan pilihan gaya hidup yang tak pernah terbayangkan, tersaji di era digital ala pendiri Facebook ini.
Konsep Metaverse ini kurang lebih seperti apa yang pernah di ungkapkan Manuel Castell tentang Masyarakat Jaringan. Bahwa kini kita secara rutin mengetahui apa yang terjadi di dunia di luar kita meski kita tidak pernah mengunjunginya langsung.
Kota Seoul menjadi salah satu kota terbaik di dunia yang cukup giat mempersiapkan diri dengan berbagai fasilitas penunjang yang dibiayai dengan dana yang tidak tanggung-tanggung diangka hampir US$34 juta, yang jika dirupiahkan nyaris dikisaran Rp.492 Miliar. Jumlah yang fantastis dan tidak main-main memang. Saya tiba-tiba teringat dengan kota tempat saya kuliah S1, Makassar.
Beberapa minggu lalu, lewat statemen Walikotanya, dia juga mempublis keinginannya menjadi Kota Metaverse. Singkat cerita, terkait pernyataan itu, membuat media Radio milik pemerintah pusat mewawancarai saya untuk dimintai tanggapan selaku pengamat sosial. Saya pun janjian dengan wartawannya, di suatu tempat yang tidak menghambat perjalanan kami oleh karena banjir dibeberapa ruas jalan kala itu membuat antrian kendaraan bernama macet amat sulit untuk dihindari.
Kami berhasil bertemu dan akhirnya saya pun di wawancarai mengenai kesiapan Makassar menjadi Kota Metaverse. Meski wawancara saya agak terkendala, oleh karena jaringan seluler wartawannya dan milik saya bersamaan kesulitan mendapatkan sinyal yang bagus. Dua kejadian yang menasbihkan kesiapan kota ini, Banjir dan sinyal putus-putus menjadi awal yang unik untuk calon kota Metaverse.
Sebagian besar Negara di Eropa dan di USA sendiri telah sibuk mempersiapkan diri sebagai kota Metaverse. Sementara kita di Indonesia hingga hari ini masih sibuk berdebat soal volume besar-kecilnya TOA Masjid. Dan yang terbaru, sibuk membicarakan boleh tidaknya 3 Periode masa jabatan Presiden RI.
Stabilitas Sosial menyambut Era Virtual
Facebook yang sebentar lagi akan bertransformasi dan para user di Barat, dan beberapa kota besar di Asia telah bersiap dengan hal itu. Berbanding terbalik kita warga +628 ini. Kita masih menjadikan facebook sebagai arena bersahut-sahutan komentar di wall soal perpanjangan masa jabatan serta boleh tidaknya Presiden 3 Periode.
Kita memang berada dalam masyarakat yang telah sangat maju. Hidup dalam masyarakat digital sekarang berarti kita harus membuat (make) dan membuat kembali (re-make) diri kita
sendiri untuk menghadapi perubahan yang menantang kita dari semua arah kata Anthony Giddens.
Persoalan tiga periode ini memang bukan cuma melahirkan perubahan yang menantang, namun juga melahirkan penentang perubahan. Beberapa penggiringan opini yang memframing masyarakat agar secara perlahan bisa menerima usulan tiga periode, seolah dia adalah semacam keadaan baru yang terus-menerus muncul dan harus dibuat masuk akal.
Amandemen UUD 1945 kelihatannya akan menjadi jurus pamungkas untuk menggolkan keinginan tersebut. Mungkin dengan keyakinan yang ditopang oleh hasil survey yang terkondisikan, lalu dipublis dan disupport oleh ratusan ribu buzzer. Dan finalnya, keinginan tiga periode ini bisa jadi akan terwujud tanpa hambatan berarti.
Namun tak bisa kita pungkiri, bahwa kekuatan kelompok yang bukan oposisi sepenuhnya akan sanggup membuat opini baru, dimana tak sedikit masyarakat kita akan bisa menerimanya dan akan bertindak melakukan ‘perlawanan’.
Mengapa warga masyarakat tersebut bertindak? kejadian-kejadian historis secara berurutan yang mempengaruhi sikap politik mereka. Bagaimana presiden yang menjabat kerapkali mengatakan taat konstitusi dan hanya mau dua periode lalu tiba-tiba ngarep ditambah sekali lagi. Ini akan menstimuli tindakan penolakan usulan tiga periode ini.
Percayalah, saat ini di negara kita yang masih menghargai perjuangan masa lalu, Kapan saja gagasan tiga periode tersebut muncul, maka akan selalu terjadi kontroversi pendapat.
Masyarakat kita di Indonesia mestinya telah bergerak maju dan siap menghadapi dunia virtual ala Metaverse. Perlunya menghindarkan kondisi tak sehat dalam berbagai aspek kehidupan khususnya sosial dan politik adalah wajib.
Sebab penting untuk jadi catatan pemerintah, jika masyarakat kita tidak sehat secara sosial-politik, akan berimbas pada terjadinya ketidakteraturan (kekacauan), adanya kecenderungan konflik, perpecahan dan persengketaan.
Dalam kondisi demikian, harapan menuju masa depan dalam era digital versi Mark Zuckerberg akan membuat kondisi makin jauh panggang dari api.
Optimisme lebih pada sebuah hasil akhir yakni masyarakat yang kembali harmonis – integratif, stabil, kohesif, dan sehat, serta warga masyarakat yang bahagia dan terbimbing baik oleh norma-norma diharapkan selalu terwujud. Menyudahi polemik serta pengingkaran terhadap amanah Reformasi 98 harus diwujudkan. Sebab jika tidak, mata dunia yang tertuju pada kita bisa jadi akan menertawai kita dalam hati sambil bergumam “kok startnya di metaverse tapi endingnya tetap di tiga periode yah”!!.
Artikel ini juga telah tayang di:
https://sulsel.herald.id/2022/03/08/start-ke-metaverse-finishnya-di-tiga-periode/